KABEREH NEWS | Isu mutasi empat pulau dari Aceh ke Sumut, belum reda. Bahkan, semakin panas dengan turunnya ratusan massa dari Gerakan Aceh Melawan (GAM), bukan GAM yang dulu, ya. Mari kita ungkap aksi GAM menekan pemerintah.
Di bawah terik matahari Banda Aceh yang menyengat seperti amarah rakyat yang sudah terlalu lama dipendam, ratusan massa dari GAM bergerak. Mereka bukan berjalan, tapi mengguncang bumi dengan tapak kaki penuh dendam sejarah. Lokasinya, depan Kantor Gubernur Aceh. Isunya, empat pulau dicaplok Sumatera Utara lewat prosedural Kementerian Dalam Negeri.
SK Mendagri Nomor 300.2.2.2138 Tahun 2025 jadi biang kerok. Dalam surat sakti itu, empat pulau di Aceh Singkil, pulau-pulau yang bahkan mungkin belum sempat masuk Google Maps dengan benar, tiba-tiba diakui masuk administrasi Sumut. Tanpa diskusi. Tanpa permisi. Bahkan tanpa sepucuk surat maaf formal seperti yang biasa diucapkan mantan waktu minta balikan.
Apa tanggapan rakyat Aceh? Sederhana, wak! “Kalau pulau bisa dipindah seenak jidat, berarti keadilan bisa dijual di marketplace dengan promo flash sale!”
Aksi dimulai dari Komplek Taman Ratu Safiatuddin. Di sana, mahasiswa, aktivis, ibu-ibu, hingga orang-orang yang tak disebutkan dalam SK Mendagri, berkumpul. Mereka membawa spanduk, bendera Bintang Bulan, dan suara lantang yang bahkan bisa bikin Google Translate bingung menerjemahkannya.
Sambil meneriakkan “Merdeka!” dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan, massa bergerak menuju Kantor Gubernur. Arus lalu lintas lumpuh. Bukan karena lubang jalan seperti biasa, tapi karena rakyat lagi-lagi harus mengajarkan pemerintah pusat cara membaca peta.
Empat pulau yang dipermasalahkan itu adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Semua berada di kawasan Aceh Singkil. Tiba-tiba, di tahun 2025, mereka berubah status tanpa pindah tanah, hanya pindah provinsi.
Ini bukan sekadar kesalahan koordinat. Ini tragedi kartografi nasional!
Para demonstran menolak dengan keras keputusan Mendagri Tito Karnavian. Mereka meminta Tito diperiksa, diberhentikan, dan dikirim ke kelas Geografi ulang. Beberapa bahkan menyarankan agar beliau ikut lomba menggambar peta buta tingkat SD untuk mengasah kembali insting kenegaraannya.
Tak hanya soal pulau, massa juga menolak rencana pembangunan empat batalyon TNI di Aceh, yang dinilai bisa memicu ketegangan baru. “Kami ingin damai, bukan parade tank!” teriak salah satu orator, sambil menabuh gendang perjuangan di atas mobil bak terbuka.
Isu otonomi khusus juga diangkat. Mereka mendesak agar Otsus Aceh dipermanenkan sebagai jaminan perdamaian. Bahkan, di tengah demonstrasi, seruan referendum menggema, seperti kaset lama yang kembali diputar saat semua solusi modern gagal memberi rasa adil.
Presiden Prabowo Subianto, dalam pernyataan diplomatis, menyebut akan mempertimbangkan "aspirasi rakyat dan aspek historis". Sebuah kalimat yang lebih mirip status WA pejabat dari rencana konkret. DPR bilang masalah ini akan selesai dalam “pekan depan” kalau tidak ditunda karena rapat paripurna mendadak berubah jadi coffee break nasional.
Tapi rakyat Aceh tak sabar menunggu. Karena bagi mereka, ini bukan sekadar soal empat pulau. Ini soal kehormatan. Soal tanah yang ditinggal para leluhur. Soal hak yang tak bisa ditakar dengan batas administratif.
Kalau keadilan bisa ditentukan dengan surat SK, maka kita semua bisa jadi provinsi mandiri hanya dengan niat dan notulen rapat RT.
Hari ini, Aceh tidak hanya berdiri. Ia menggugat. Bukan dengan peluru. Tapi dengan bendera, suara, dan tanya, "Masih adakah keadilan, atau sudah karam bersama empat pulau yang dilupakan?"
Ingat, wak! Negara bisa menggeser garis di atas peta, tapi tidak bisa menggeser amarah rakyat yang merasa dipermainkan.
Aceh tidak sedang marah karena tanah, tapi karena dipermalukan. Diputuskan sepihak. Diperlakukan seperti anak kost yang kamarnya dipindah ke gudang tanpa permisi.
Pada akhirnya, semua menunggu titah Prabowo. Kecuali, ngopi...!
Penulis : Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Posting Komentar