Foto, kanan penulis Agus Suriadi Pimred Tribunpase.com, Kiri M Sanusi Madli Pegiat Media Online Aceh.
BATU SUMBANG, KABEREH NEWS -- Di ujung timur Aceh, di desa kecil bernama Batu Sumbang, saya menulis catatan ini. Jauh dari hiruk pikuk pusat kekuasaan, tapi cukup dekat untuk merasakan dampaknya. Desa kami mungkin terpencil, tapi kami tidak buta. Dari sini, kami melihat arah kepemimpinan Aceh hari ini—dan arah itu, terus terang, mengkhawatirkan.
Aceh sedang berada di titik kritis. Kepemimpinan yang mestinya menjadi penuntun, kini justru menjadi penyumbat jalan bagi mereka yang berpikir. Intelektual, akademisi, aktivis, bahkan tokoh masyarakat yang punya visi dan integritas—semuanya seperti tak diberi ruang. Ide-ide mereka, yang lahir dari pengalaman, ilmu, dan cinta pada daerah ini, terlalu sering diabaikan. Bukan karena tak relevan, tapi karena mereka bukan bagian dari "lingkaran".
Yang diutamakan justru kelompok sendiri—kerabat, teman, saudara, atau loyalis politik yang kerap miskin kapasitas, namun kaya koneksi. Sebuah peta kekuasaan yang dibangun bukan atas dasar kemampuan, tapi atas dasar kedekatan. Inilah wajah kroni isme yang nyata: kebijakan lahir dari ruang sempit kepentingan, bukan dari pertemuan antara akal sehat dan data.
Saya bukan satu-satunya yang melihat ini. Banyak di Aceh sadar, tapi terlalu lelah untuk bicara. Atau terlalu takut. Karena siapa yang berbeda, mudah sekali disingkirkan. Bahkan dibenturkan. Ya, strategi pecah belah kini makin kentara. Masyarakat Aceh tak lagi dituntun untuk bersatu membangun daerah, tapi justru dipetakan dalam kubu-kubu: siapa bersama siapa, siapa lawan siapa. Politik identitas dan loyalitas kelompok sempit jadi senjata untuk mempertahankan kekuasaan.
Akibatnya sudah terasa:
Potensi SDM Aceh yang cerdas dan berpengalaman terbuang. Mereka memilih diam, minggir, atau pergi. Yang bertahan hanya mereka yang siap tunduk, bukan mereka yang siap berpikir.
Kebijakan daerah kehilangan arah strategis. Banyak program tak berbasis data, hanya untuk citra atau bagi-bagi proyek.
Persatuan masyarakat Aceh melemah. Karena rasa percaya terkikis oleh kepentingan-kepentingan sempit.
Jika pola ini terus dibiarkan, jangan harap Aceh bisa bangkit. Daerah ini butuh kepemimpinan yang merangkul semua anak bangsa, bukan hanya yang satu warna. Butuh ruang untuk dialog, bukan tembok yang menutup mulut.
Saya menulis ini bukan karena benci. Justru karena cinta. Cinta pada Aceh, cinta pada desa saya, dan cinta pada harapan yang makin hari makin pudar. Dari Batu Sumbang yang jauh dari gemerlap kekuasaan, saya hanya ingin mengingatkan: masa depan tak akan dibangun oleh bisik-bisik kekuasaan, tapi oleh suara-suara yang jujur, berani, dan berpikir.
"Semoga Aceh segera membuka mata. Sebelum semuanya terlambat."
Sebuah catatan kritis dari seorang jurnalis, Agus Suriadi.
Batu Sumbang, Simpang Jernih, Aceh Timur
Posting Komentar