Bayang-bayang referendum dan konflik bersenjata di balik penanganan banjir di Aceh

KABEREH NEWS | Korban bencana banjir dan longsor di Aceh berteriak meminta pemerintah tidak lambat dalam menangani bencana. 

Kekecewaan pun mengudara, disimbolkan dengan kibaran bendera putih

Di balik itu, memori kolektif pascakonflik bersenjata membayangi; membuka kembali pertanyaan sejauh mana resolusi damai berpihak kepada masyarakat Aceh.

Bencana hidrometeorologi yang meluluhlantakkan Aceh tidak bisa semata dibaca dari perspektif kebencanaan, menurut antropolog Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya.

Respons pemerintah yang dikritik lamban membuka peluang menguatnya "politik identitas" Aceh sebagai daerah yang "ditindas" oleh pemerintah pusat.

"Walaupun itu bahasanya agak generalisasi. Kalau kita masuk ke dalam detail-detail, sebenarnya pemerintah lokal juga ikut menghancurkan Aceh lewat pemegang izin tambang, izin sawit, dan macam-macam," paparnya kepada BBC News Indonesia.

Menurut Kemal, masyarakat Aceh mempunyai ingatan kolektif yang tidak sepenuhnya "baik" kepada Jakarta, terlebih kala pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) atau Darurat Militer dalam rangka menghentikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Efek dari operasi militer itu ialah masyarakat sipil dituding GAM, diburu, dan ditangkap atau dibunuh.

Apabila di masa lampau motor penggerak kekecewaan tersebut bertumpu pada tangan GAM, kali ini masyarakat Aceh sendiri—korban bencana—yang Kemal perkirakan bakal mengambil panggung.

"Dulu di era gerakan referendum muncul kesadaran bahwa kami, Aceh, sudah ditindas pusat. Kemudian Perjanjian Helsinki menutup ruang itu, menjadi basis perdamaian di Aceh dalam kerangka NKRI [Negara Kesatuan Republik Indonesia]," tandas Kemal.

"Nah, tapi sekarang muncul lagi kesadaran seperti itu. Kalau bahasa lainnya adalah Aceh merdeka. Tapi tidak digerakkan oleh GAM, melainkan masyarakat di tapak."

Masyarakat Aceh, Kemal berpandangan, menyadari betapa banjir dan longsor adalah resultante—hasil akhir—dari "kesedihan serta penderitaan akibat sudah cukup lama diabaikan pemerintah pusat."

"Dan ini cocok dengan sikap [Presiden] Prabowo yang terus keras kepala yang tidak ingin membuka akses [bantuan] internasional terhadap bencana yang terjadi di Sumatra ini," imbuh Kemal.

Bagi Kemal, pemerintah pusat tidak bisa menutup mata dan telinga terkait kenyataan masyarakat Aceh. Aspirasi warga Aceh wajib didengar supaya tidak menimbulkan benih-benih kekacauan sosial di masa mendatang.

"Artinya apa? Kemampuan mendengar kelompok yang lebih besar terhadap [kelompok] di bawah itu harus lebih dikedepankan," tutup Kemal.

Note: Simak liputan lengkap wartawan BBC News Indonesia, yang menghimpun wawancara dengan warga Aceh, eks juru runding GAM dalam negosiasi damai, hingga aktivis LBH:

https://www.bbc.com/indonesia/articles/cwyxlnd06jno

0/Post a Comment/Comments