ACEH, KABEREH NEWS - Dua puluh satu tahun setelah tsunami menghantam Aceh, banjir bandang kembali melanda wilayah ini, memunculkan pertanyaan tentang kesiapan pemerintah dan kesadaran bangsa. Apakah kita masih ingat pelajaran sejarah bahwa penderitaan bisa menyatukan, ataukah bencana ini justru menguji batas perdamaian yang telah bersusah payah dirawat?
Prof. Dr. T.M. Jamil, Pengamat Politik dan Akademisi USK, dalam opininya menyatakan bahwa tsunami 2004 adalah titik balik kebangsaan yang membuka jalan perdamaian antara Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia melalui MoU Helsinki. Namun, banjir bandang hari ini memunculkan kegelisahan sosial dan mempertanyakan respons pemerintah.
Keterlambatan pemerintah dalam menetapkan status bencana nasional dan tindakan oknum aparat di lapangan memperburuk situasi. Warga bahkan mengibarkan bendera putih sebagai pesan keputusasaan dan meminta bantuan internasional. "Langkah ini tidak lahir dari niat politik, melainkan dari rasa ditinggalkan oleh negaranya sendiri," kata Prof. Jamil.
Kemunculan simbol-simbol lama, seperti bendera GAM, bukanlah kebangkitan gerakan separatis, tapi ekspresi kekecewaan sosial dan trauma lama. MoU Helsinki telah menutup ruang bagi separatisme dan menempatkan Aceh dalam bingkai NKRI.
Prof. Jamil menekankan bahwa perdamaian membutuhkan perawatan berkelanjutan, terutama saat rakyat lemah. Pemerintah harus pro-aktif, cepat, dan empatik dalam menangani bencana. "Negara tidak boleh kalah cepat dari penderitaan warganya sendiri," katanya.
Perdamaian Aceh adalah konsensus sejarah yang tidak boleh diganggu gugat. Negara harus hadir nyata di saat bencana untuk menjaga perdamaian dan persatuan bangsa.(*)
Posting Komentar