Perkara Nomor 40/PUU-XXIII/2025 ini menguji Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya pengaturan masa jabatan keuchik. Permohonan diajukan oleh Venny Kurnia, Syukran, Sunandar, Kadimin, dan Badaruddin.
Sidang pembacaan putusan dapat disaksikan melalui kanal YouTube resmi Mahkamah Konstitusi di link ini.
Momentum sidang ini semakin bermakna karena beriringan dengan peringatan dua dekade perdamaian Aceh. MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 menjadi penanda berakhirnya konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia.
Seorang keuchik dari pesisir Aceh menyebut keputusan MK ini menyangkut martabat daerah.
“Kami menunggu dengan penuh harap. Keputusan ini bukan sekadar undang-undang, tetapi juga masa depan otonomi dan martabat Aceh,” ujarnya.
Sementara itu, akademisi dan peneliti pembangunan masyarakat desa, Prof. TM Jamil, menegaskan bahwa uji materi merupakan hak warga negara. Namun, ia menilai tuntutan perpanjangan masa jabatan keuchik menjadi delapan tahun tidak mendesak.
“Enam tahun sudah cukup bagi seorang keuchik membangun desa dan mempersiapkan diri naik kelas menjadi tokoh kecamatan atau kabupaten. Dengan begitu, pola ini membuka peluang regenerasi tokoh muda gampong,” kata Prof. Jamil.
Menurutnya, energi keuchik seharusnya diarahkan pada perjuangan kebutuhan rakyat, bukan kepentingan jabatan.
“Ini bukan kebutuhan rakyat, tetapi keinginan pribadi. Karena itu, jika serius ingin memperpanjang masa jabatan, tempuh jalur politik melalui revisi UUPA No. 11 Tahun 2006 atau pembuatan qanun Aceh,” tambahnya.
Prof. Jamil menegaskan jabatan adalah amanah, bukan hak yang harus dipertahankan dengan segala cara.
“Keuchik yang bekerja baik pasti dipilih kembali tanpa perlu mengemis jabatan. Sebab, memperjuangkan masa jabatan pribadi di atas kebutuhan rakyat mencederai martabat seorang pemimpin,” pungkasnya.[]
Posting Komentar