BANDA ACEH, KABEREH NEWS -- Dua dekade sejak penandatanganan MoU Helsinki pada 2005, rakyat Aceh masih menanggung beban luka yang belum sembuh. Anak-anak yang menjadi yatim piatu, perempuan korban pemerkosaan, keluarga yang kehilangan harta benda, serta mantan kombatan yang belum sepenuhnya direintegrasi—mereka semua masih menanti keadilan yang dijanjikan. Korban konflik dan masyarakat sipil di Aceh dihantui masa lalu yang penuh darah, penderitaan, dan penindasan.
Selama puluhan tahun konflik, ribuan warga sipil menjadi korban: dibunuh, disiksa, diperkosa, rumah dirampas, sekolah dihancurkan. Anak-anak kehilangan masa depan, tak bisa sekolah, tak bisa bermain, hanya mengenal suara tembakan dan jeritan.
Kini, 20 tahun setelah damai, pertanyaan besar masih menggantung: di mana keadilan untuk para korban?
Negara Diam, Rakyat Menjerit
Janji-janji dalam MoU Helsinki nyatanya belum sepenuhnya ditepati. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR Aceh) terbentuk, tapi dibatasi wewenangnya. Pengadilan HAM tak kunjung hadir. Para pelaku pelanggaran HAM berat masih bebas berkeliaran, bahkan sebagian menduduki jabatan publik.
Budaya impunitas dibiarkan hidup. Negara memilih diam.
Korban: Kami Tak Butuh Simpati, Kami Butuh Keadilan
Ribuan korban dan keluarganya hidup dalam kemiskinan. Tak ada kompensasi nyata. Tak ada pengakuan. Pendidikan gratis, rehabilitasi psikologis, dan layanan sosial hanya menjadi wacana manis di atas kertas.
"Kami tidak butuh belas kasihan. Kami ingin keadilan ditegakkan. Kami ingin kebenaran dibuka. Kami ingin sejarah ditulis dengan jujur," teriakan seorang pemuda korban di Aceh Timur.
Anak-Anak Kombatan, Generasi yang Terlupakan
Anak-anak dari para mantan kombatan dan korban konflik seakan dilupakan. Mereka tumbuh dalam stigma, miskin akses pendidikan, miskin pekerjaan. Di saat korupsi merajalela, mereka terus termarginalisasi.
Mengingat, Bukan Membuka Luka Tapi Mencegah Luka Terulang
Negara punya kewajiban untuk mengakui sejarah. Sejarah konflik Aceh harus diajarkan di sekolah. Monumen dan museum harus dibangun. Korban harus dikenang, bukan dilupakan.
Rekonsiliasi Bukan Sekadar Damai di Atas Kertas
Damai bukan hanya senyapnya senjata. Damai adalah hadirnya keadilan, kebenaran, dan pemulihan. Jika negara terus gagal memenuhi hak-hak korban, maka luka Aceh akan tetap menganga dan perdamaian ini hanya akan menjadi ilusi.
20 tahun damai Aceh. Tapi, di mana keadilan untuk mereka yang sudah kehilangan segalanya?(Hs)
Posting Komentar