BANDA ACEH, KABEREH NEWS -- 15 Agustus 2025 — Puncak peringatan 20 tahun Kesepakatan Damai Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) digelar melalui Diskusi Internasional bertajuk “Refleksi Perdamaian Aceh” di Aula Meuseuraya, Banda Aceh. Kegiatan ini dihadiri para pemangku kebijakan Aceh serta perwakilan lembaga internasional, menegaskan komitmen kolektif menjaga warisan perdamaian.
Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf menegaskan transformasi Aceh pascakonflik, “Dari medan perang, kami bangun Aceh menjadi laboratorium perdamaian dunia,” ujarnya.
Ketua Sekretariat Bersama (Sekber) Aceh Muallem Dekfadh, mengajak evaluasi tiga pilar perdamaian : reintegrasi eks-kombatan, penguatan otonomi khusus, dan pengembangan ekonomi berbasis syariah. Sekber Aceh selama ini menjadi pengawal implementasi MoU Helsinki 2005.
Acara turut dihadiri H. Fadhulullah, SE, Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Niko Fahrizal M.Tr.(Han), dan Wakapolda Aceh Brigjen Pol. Ari Wahyu Widodo. Para pejabat TNI–Polri menekankan sinergi keamanan yang berpihak kepada rakyat (civil security) sebagai fondasi pembangunan Aceh.
Perwakilan United Nations Development Programme (UNDP) dan Henry Dunant (HD) Centre menilai Aceh sebagai contoh keberhasilan resolusi konflik di tingkat global. Dalam refleksi 20 tahun damai, sejumlah capaian dan tantangan diidentifikasi, meliputi partisipasi politik eks-GAM di parlemen, fragmentasi partai lokal, pertumbuhan ekonomi 5,2% (2024) yang masih menyisakan kesenjangan desa–kota, serta reintegrasi sekitar 3.000 eks-kombatan termasuk penyelesaian sengketa lahan belum tuntas.
Dukungan internasional untuk Aceh juga diumumkan, antara lain Dana Perdamaian ASEAN untuk pelatihan ekonomi digital pemuda, program UNESCO melestarikan manuskrip Aceh sebagai Memory of the World, dan kemitraan Uni Eropa untuk pengembangan industri halal di Sabang.
Ketua Tim Milenial Sekber Aceh, Yuswadi, menyampaikan terima kasih kepada masyarakat Aceh dan relawan atas dukungan menjaga perdamaian. “Ini langkah menuju peradaban maju Aceh di masa depan di bawah kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh,” ujarnya.
Sementara itu, peringatan damai Aceh selain menuai pujian, juga mendapat kritikan tajam dari pengamat sosial dan akademisi Universitas Syiah Kuala, Prof. TM Jamil, menurutnya momentum 20 tahun penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki tidak sekadar menjadi ajang seremonial tanpa evaluasi dan kerja nyata.
Prof. TM. Jamil mengatakan, banyak persoalan mendasar pasca perdamaian yang belum tertangani, mulai dari ketimpangan ekonomi, penegakan hukum yang lemah, rasa keadilan, kesetaraan dalam kehidupan hingga persoalan korban konflik yang belum sepenuhnya mendapat keadilan nyata. “Hati-hati dengan tepukan tangan, karena nyamuk pun mati karena tepukan tangan,” ujarnya, Jumat (15/8/2025).
Sekali lagi ditegaskan, menurutnya, banyak persoalan mendasar pasca perdamaian yang belum tertangani, mulai dari ketimpangan ekonomi, penegakan hukum yang lemah, hingga persoalan korban konflik yang belum sepenuhnya mendapat keadilan. Ingat, jangan bangga dengan pujian dan tepukan tangan saat dilantik, jika aksi nyata belum dirasakan rakyat.
Prof. TM, menegaskan, perdamaian harus diukur dari indikator keadilan dan kesejahteraan rakyat, bukan dari megahnya sebuah perayaan.
“Kalau hanya seremonial, itu bisa jadi alat untuk melupakan masalah. Evaluasi 20 tahun ini seharusnya menjawab pertanyaan, apakah rakyat benar-benar merasakan manfaat dari perdamaian itu atau justru rakyat hidupnya masih dalam kebingungan dan ketidakpastian”, tutup Prof. TM Jamil. (EQ)
Posting Komentar