KABEREH NEWS | Suasana hening sering kali dimanfaatkan Endang Kusmadi untuk memulai percakapannya dengan kata. Di antara sunyi dan cahaya lampu yang temaram, ia menulis — bukan sekadar untuk dibaca, tetapi untuk memberi makna.
Lelaki berkelahiran di salah satu kecamatan tertua di Aceh Utara, tepatnya kecamatan Kuta Makmur pada tahun 1986 tahun silam. Endang tumbuh sebagai pribadi yang mencintai bahasa dan pengetahuan. Sejak duduk di kelas dua SMA, ia sudah menunjukkan ketertarikannya terhadap bahasa Inggris. Namun, cita-cita untuk melanjutkan pendidikan sempat terhenti karena situasi konflik yang melanda Aceh kala itu.
Meski begitu, semangatnya tidak pernah padam. Setelah Aceh kembali damai, jalan hidup membawanya bekerja di International Labour Organization (ILO), sebuah lembaga internasional yang membuka kembali wawasannya terhadap dunia global. Dari sanalah semangatnya untuk menguasai bahasa Inggris kembali tumbuh, hingga akhirnya ia mendaftar sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh Lhokseumawe, yang kini telah bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasyiah Lhokseumawe.
Selama masa kuliah, Endang menyadari bahwa penguasaan bahasa asing saja tidaklah cukup. Ia juga harus memahami dunia jurnalistik, dunia yang mampu menjembatani informasi, kebenaran, dan keadilan. Melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Al-Kalam, satu-satunya pers mahasiswa di kampusnya saat itu, ia mulai mendalami ilmu jurnalistik dan berkolaborasi dengan berbagai kampus di Aceh. Dari sanalah langkah awalnya sebagai jurnalis dimulai sekaligus menjadi ketua umum yang pernah di naunginya dalam mempelajari jurnalistik.
Kini, Endang dikenal sebagai sosok penulis yang menulis dengan hati, tajam dalam analisis, dan selalu mengedepankan verifikasi dalam setiap karyanya. Ia percaya, kekuatan tulisan setara dengan kekuatan doa mampu memperjuangkan nasib yang tertindas dan mengantarkan manusia pada keadilan.
Menulis baginya bukan sekadar profesi, melainkan pengabdian, bentuk perjuangan sunyi yang lahir dari keheningan dan ketulusan.
Filosofi Hidup dan Napas Jurnalistiknya. Endang berpegang teguh pada keyakinan bahwa setiap kata memiliki jiwa. Maka ia tidak pernah menulis untuk sekadar menggugurkan kewajiban, melainkan untuk menyalakan nurani pembaca. Dalam setiap kalimat yang ia tulis, ada tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kebenaran tidak hanya terdengar, tetapi juga dipahami dengan hati.
Ia sering berkata, “Tulisan yang lahir dari hati akan sampai ke hati. Dan tulisan yang berlandaskan kebenaran akan hidup lebih lama dari usia penulisnya.”
Kalimat itu bukan sekadar prinsip, tapi menjadi napas yang menuntunnya dalam setiap karya jurnalistik.
Di tengah perubahan zaman dan derasnya arus informasi, Endang tetap setia pada idealismenya: menjaga etika, menegakkan kebenaran, dan menulis dengan kejujuran. Karena baginya, menjadi jurnalis sejati bukanlah tentang popularitas — melainkan tentang keberanian untuk tetap berpihak pada kebenaran, sekalipun suara itu hanya terdengar pelan.
Bagi Endang Kusmadi, menulis adalah cara paling tulus untuk berdoa dalam bentuk kata — agar kebenaran tak pernah kehilangan suara, dan keadilan selalu menemukan jalannya.(*)
Posting Komentar