KABEREH NEWS | Daftar undangan rapat pembahasan Revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang beredar di publik baru-baru ini menyisakan tanda tanya besar. Dari total 35 nama yang tercantum, tidak ada satu pun perempuan diundang untuk hadir dan memberi pandangan. Seluruh peserta berasal dari kalangan laki-laki, baik dari unsur pemerintahan, legislatif, maupun akademisi.
Ketahuilah bahwa "demokrasi tanpa partisipasi perempuan bukanlah demokrasi, melainkan ilusi ..."
Padahal, perempuan Aceh bukan sekadar bagian dari masyarakat—mereka adalah penjaga sejarah, penggerak sosial, dan penentu arah moral bangsa ini. Sejak masa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin hingga tokoh-tokoh kontemporer seperti Bunda Salma dan aktivis jaringan perempuan Aceh, kaum perempuan telah memainkan peran strategis dalam menjaga nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan kemanusiaan.
Orang bijak mengingatkan kita : "suara perempuan itu bukan suara minoritas, tapi ia adalah suara masa depan"
Namun kini, ketika forum strategis digelar untuk membahas arah masa depan pemerintahan Aceh melalui revisi UUPA, suara perempuan justru absen. Tidak ada perwakilan dari lembaga perempuan, organisasi masyarakat sipil, atau akademisi perempuan yang dilibatkan.
Jika kondisi terus dibiarkan akan terjadi, ketimpangan representasi di lembaga politik, issu-issu gender tak dihargai, demokrasi berjalan dengan cara yang inklusif, serta kelak akan muncul perlawanan perempuan di akar rumput. Sungguh tak bijak, jika ini terjadi, akibat keangkuhan sektoral dalam kebijakan.
Lalu, Pertanyaannya sederhana namun menohok : Apakah suara 50 persen penduduk Aceh tidak dianggap penting dalam menentukan arah hukum dan politik Aceh ke depan?
Ketiadaan dan keterlibatan perempuan dalam forum ini bukan hanya soal keterwakilan simbolik, melainkan persoalan substansi demokrasi. Tanpa perspektif gender, kebijakan publik berisiko tidak inklusif dan gagal menyentuh kebutuhan riil masyarakat. Padahal, perempuan sering menjadi pihak yang paling terdampak oleh berbagai kebijakan sosial dan ekonomi.
Sampai kini, masyarakat umum masih juga bertanya-tanya, apa saja sich yang akan direvisi dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No 11 Tahun 2006 itu?. Pertanyaan itu muncul, karena minimnya proses dari sosialisasi yang dilakukan. Padahal semua perubahan itu dibutuhkan rakyat. Mari belajar instrospeksi diri wahai orang orang yang menerima amanah ummat.
Sementara itu, Revisi UUPA No. 11 Tahun 2006, bukan hanya soal pasal dan ayat. Ia adalah fondasi masa depan tata kelola pemerintahan Aceh. Karena itu, prosesnya harus melibatkan seluruh elemen masyarakat—termasuk perempuan yang memiliki kompetensi, pengalaman, dan komitmen terhadap pembangunan daerah.
Sudah saatnya para pengambil kebijakan di Aceh membuka ruang yang lebih luas bagi partisipasi perempuan. Tokoh-tokoh seperti Bunda Salma, aktivis Balai Syura, Flower Aceh, serta akademisi perempuan-perempuan hebat di berbagai universitas di Aceh harus duduk di meja yang sama dalam pembahasan revisi UUPA.
Keterlibatan mereka bukan hanya bentuk penghormatan terhadap prinsip keadilan dan kesetaraan, tetapi juga langkah nyata untuk memastikan UUPA yang baru benar-benar mencerminkan semangat keistimewaan Aceh : adil, berdaulat, dan berpihak pada semua warganya—baik laki-laki maupun perempuan.
Jika suara perempuan terus diabaikan, maka revisi UUPA hanya akan menjadi proyek elitis yang jauh dari semangat demokrasi dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi ruh Aceh.
Di akhir tulisan ini, ingin diingatkan bahwa : negara yang gagal melibatkan perempuan dalam proses politik, akan sulit mencapai keadilan sosial dan stabilitas jangka panjang". Camkanlah !!!
----------------------------------
Sagoe Atjeh Rayeuk, 21 Oktober 2025.
Posting Komentar