KABEREH NEWS | Banjir besar yang melanda Aceh pada 27 November 2025 bukanlah sekadar peristiwa alam, tetapi peringatan keras dari alam bahwa kerusakan lingkungan telah mencapai titik kritis. Ujian besar ini memaksa kita menunduk, merenung, dan bertanya: di mana letak kesalahan kita sebagai masyarakat dan pemangku kebijakan?
Pemerintah Aceh menetapkan status darurat bencana hidrometeorologi selama 14 hari, namun jauh di balik angka-angka itu, terdapat kisah getir masyarakat yang kehilangan rumah, terputus akses, dan pasrah melihat air mengambil kembali ruang hidup mereka.
Di Lhokseumawe, 43 gampong terendam total. Jalan yang biasa dilalui pelajar kini berubah menjadi lintasan perahu karet. Hujan yang tak kunjung berhenti membuat sungai-sungai meluap, mengubah permukiman menjadi danau tanpa batas.
Di Aceh Utara, situasinya lebih dramatis: 17 kecamatan lumpuh, listrik padam total, tambak dan sawah rusak, jaringan komunikasi terputus. Dalam gelap dan dingin, doa-doa memecah kesunyian.
Sementara itu, di Bireuen tiga jembatan rangka baja putus total, memutus akses ribuan warga. Jalan nasional Medan–Banda Aceh lumpuh berjam-jam.
Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh Timur turut merasakan dampak yang sama. Keluhan yang terdengar dari berbagai penjuru serupa: “Ini banjir terparah dalam beberapa tahun terakhir.”
Setiap kali bencana datang, pertanyaan klasik kembali muncul: Mengapa ini terjadi? Jawaban paling mudah adalah menyalahkan cuaca ekstrem akibat Siklon Tropis. Namun itu hanya sebagian dari persoalan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan di Aceh sudah lama mencapai titik kritis. Data WALHI menunjukkan lebih dari 420.000 hektare kawasan hutan Aceh telah rusak dalam dua dekade terakhir.
Alih fungsi lahan, tambang ilegal, dan penebangan massif menggerus daerah resapan air. 28 dari 40 DAS (Daerah Aliran Sungai) di Aceh kini berstatus kritis dan sangat kritis.
Pembangunan permukiman di bantaran sungai terus dibiarkan tumbuh tanpa pengawasan yang memadai.
Rasulullah SAW pun memberi ketenangan: “Barang siapa ditimpa musibah lalu ia mengucapkan ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.” (HR. Muslim)
Namun hikmah itu menuntut perbaikan nyata, bukan hanya kesedihan dan doa. Bencana ini memperlihatkan bahwa Aceh belum serius belajar dari bencana-bencana sebelumnya.
Tata ruang masih dilanggar secara sistematis. Banyak permukiman berada tepat di zona merah rawan banjir. Mitigasi tidak berjalan optimal. Normalisasi sungai dilakukan setengah hati dan bersifat reaktif, bukan preventif.
Pengawasan lingkungan lemah. Tambang rakyat dan korporasi dibiarkan merusak hulu sungai. Sistem peringatan dini belum terintegrasi. Banyak warga mengaku tidak menerima peringatan apa pun saat debit air meningkat.
Banjir ini bukan sekadar cobaan, tetapi juga pelajaran. Ia mengajarkan bahwa hubungan kita dengan Allah, alam, dan sesama manusia harus seimbang. Ketika salah satunya rusak, maka kerusakan itu kembali kepada kita.
Seperti janji Allah yang menenangkan: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” Tapi kemudahan itu akan hadir bila Aceh benar-benar berbenah.
Langkah-langkah yang harus diambil:
1. Moratorium izin tambang di hulu DAS kritis
2. Audit tata ruang seluruh kabupaten/kota
3. Normalisasi sungai berkelanjutan, bukan proyek musiman
4. Penegakan hukum terhadap pembalak liar dan perusak lingkungan
5. Sistem peringatan dini terintegrasi tingkat gampong
6. Kurikulum pendidikan kebencanaan untuk sekolah dan gampong
By Redaksi 6 Desember 2025
Posting Komentar