Ditengah Gencarnya Program Ketahanan Pangan, Harga Sembako terus Meninggi

KABEREH NEWS | Sungguh ironi, beban hidup masyarakat semakin berat. Hampir semua jenis barang kebutuhan pokok naik drastis. Hal ini berdampak pada melemahnya daya beli, warung dan toko menjadi sepi pembeli. Kondisi ini tentu sebuah keprihatinan, rakyat tak berdaya.

Anehnya, kenaikan harga barang yang meroket tajam justru terjadi di tengah gencarnya program ketahanan pangan yang digalakkan oleh pemerintah. Tak tanggung-tanggung, institusi TNI dan Polri pun ikut digerakkan, fokus pada program ketahanan pangan.

Faktanya, rakyat menjerit. Harga beras medium mencapai Rp 18.000/kg, beras premium Rp 19,000 lebih, bawang merah menyentuh Rp 70.000/kg. Begitu juga dengan komoditas lainnya seperti ikan segar, minyak goreng, dan berbagai kebutuhan dapur. Hal ini tentu tak dapat dipungkiri.

Pemerintah bukan hanya gagal dalam menjaga stabilitas harga barang, tetapi juga terkesan tutup mata terhadap penderitaan rakyat. Hingga saat ini, belum nampak kebijakan konkret untuk mengendalikan harga barang yang cenderung meroket.

Jika pemerintah mengklaim sukses dalam program ketahanan pangan, maka logika paling sederhana adalah harga pangan seharusnya stabil dan terjangkau bagi masyarakat. Namun kenyataannya, harga pangan melonjak, daya beli anjlok, dan pasar rakyat menjadi sunyi.

Lalu untuk siapa sebenarnya program ketahanan pangan ini? Apakah hanya berhenti pada seremoni tanam padi, panen bersama, atau rapat-rapat di ruangan ber-AC yang penuh slide presentasi? Apakah ini hanya panggung politik untuk pencitraan, sementara rakyat hanya menjadi penonton yang menanggung akibatnya?

Keterlibatan TNI dan Polri dalam program ini pun patut dipertanyakan efektivitasnya. Bukan berarti aparat tidak boleh membantu, namun jika seluruh energi negara sudah dikerahkan dan harga beras tetap melambung, itu pertanda ada yang salah di hulu. Pertanyaannya: apakah masalahnya di produksi? Di distribusi? Atau pada permainan tengkulak dan mafia pangan yang dibiarkan hidup subur?

Lebih jauh lagi, di saat situasi seperti ini, di mana peran Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian, serta Bulog sebagai leading sector? Apakah mereka turun tangan melakukan operasi pasar secara masif, atau sekadar mendata harga dan menggelar pasar murah yang sifatnya hanya sementara? Rakyat tentu berhak mempertanyakan kinerja mereka.

Jangan lupa, dana desa yang setiap tahun dialokasikan minimal 20 persen untuk ketahanan pangan, apa indikator keberhasilannya? Apakah hanya diukur dari jumlah bibit yang dibagikan dan laporan administrasi yang rapi? Atau benar-benar ada dampak nyata di lapangan yang bisa dirasakan rakyat dalam bentuk harga pangan yang stabil dan ketersediaan bahan pokok yang cukup?

Rakyat tidak butuh jargon “ketahanan pangan” jika di dapur mereka api kompor hanya menyala untuk merebus air. Tidak ada artinya sawah terbentang hijau di spanduk baliho jika isi piring warga kosong. Ironinya, ketika petani mengeluh harga gabah anjlok saat panen, konsumen di kota justru harus membeli beras dengan harga selangit.

Ke mana larinya selisih harga ini? Tentu kita tidak butuh gelar profesor untuk mengerti: rantai pasok pangan kita dikuasai segelintir pemain besar. Mereka mengatur harga dari gudang hingga meja makan rakyat. Selama pemerintah hanya sibuk dengan seremoni dan tidak berani memutus rantai permainan harga ini, maka program ketahanan pangan hanya akan menjadi kosmetik politik.

Ketahanan pangan seharusnya berarti kedaulatan rakyat atas pangan. Artinya, petani sejahtera karena hasil panen dihargai wajar, dan konsumen mampu membeli bahan pokok dengan harga terjangkau. Tapi realitasnya, program ini justru lebih terlihat sebagai proyek, di mana kesuksesan diukur dari luas lahan yang ditanami di atas kertas, bukan dari stabilitas harga di pasar.

Kegagalan ini semakin nyata ketika kita melihat lemahnya kontrol terhadap impor. Saat panen raya, beras impor justru masuk, harga gabah lokal jatuh, dan petani terpuruk. Beberapa bulan kemudian, ketika stok menipis, harga beras melambung dan rakyat kembali jadi korban. Ini adalah siklus yang berulang setiap tahun, dan entah sampai kapan dibiarkan.

Pemerintah seolah lupa bahwa ketahanan pangan bukan sekadar soal produksi, tetapi juga soal distribusi dan stabilitas harga. Tanpa pengawasan ketat terhadap rantai pasok, tanpa penegakan hukum yang tegas terhadap mafia pangan, dan tanpa keberanian mengatur tata niaga secara adil, maka semua program akan berakhir di laporan tahunan dan siaran pers — bukan di meja makan rakyat.

Rakyat tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin harga sembako yang wajar, penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan kepastian bahwa pemerintah berpihak kepada mereka, bukan kepada segelintir pemilik modal besar.

Jika harga terus dibiarkan meroket seperti ini, jangan salahkan jika kepercayaan rakyat kepada pemerintah akan terkikis. Sebab pada akhirnya, masyarakat akan menilai dari kenyataan yang mereka rasakan, bukan dari slogan atau program yang terdengar indah di televisi.

Ketahanan pangan sejati adalah ketika rakyat tidak perlu khawatir besok mau makan apa, bukan ketika mereka harus berhemat bahkan untuk membeli segenggam bawang. Selama pemerintah masih menutup mata pada kenyataan ini, “ketahanan pangan” hanya akan menjadi ironi, sebuah kata indah yang hampa makna.[]

Penulis : Masri Jafar
(Pemerhati Sosial Politik, tinggal di Aceh Timur)

0/Post a Comment/Comments