MEMPERINGATI HARI LAHIRNYA PANCASILA DI TENGAH DEKADENSI MORAL MELANDA BANGSA

Oleh : T.M. Jamil, Dr, Drs, M.Si
Associate Professor Pengamat Politik & Akademisi USK, Banda Aceh

KABEREH NEWS | Tidak Ada Bangsa Yang Dapat Mencapai Kebesaran, Jika Bangsa Itu Tidak Percaya Kepada Sesuatu, Dan Jika Tidak Sesuatu Yang Dipercayainya Itu, Memiliki Dimensi-Dimensi Moral Guna Menopang Peradaban Besar (John Gardner, 1992), Dikutip Dari Halaman Pertama Buku Negara Paripurna, Yudi Latif.

==============================

MESKIPUN, saya bukanlah seorang yang Ahli Dan Pakar Hukum Tata Negara atau Ahli PKn, tetapi sebagai anak bangsa yang selalu mendambakan negaranya maju dan terus berkembang sudah merupakan tanggung moral untuk saling mengingatkan sesama anak bangsa agar senantiasa untuk menghargai jasa-jasa para pendahulunya dalam membangun bngsa ini. Oleh karena itu, maka izinkanlah saya untuk menulis dalam posting ini tentang “Pancasila dan Makna Bagi Kita Dalam Berbangsa”. Mengapa Tema Ini Menarik? Saya Seringkali Mendengar Dalam Berbagai Forum Dan Pertemuan Ilmiah, Para Pakar Di Bidangnya Mengemukakan Sinyalemennya Bahwa : “Pancasila Telah Dilupakan”. Pernyataan Itu Selayaknya Menjadi Renungan Bagi Kita. Terkesan Pernyataan Itu Memang Ada Indikasinya, Walaupun Tidak Sepenuhnya Benar. Sedangkan Di Lain Pihak Selalu Timbul Pernyataan Bahwa Pancasila Sebagai Ideologi Negara Merupakan Suatu Pandangan Yang Sudah Final, Bahkan, Akhir-Akhir Ini Pancasila Disebut Sebagai Pilar Pertama Politik Kebangsaan Indonesia. Saya Berharap tulisan hari ini semoga bermanfaat. Jika pembahasannya nanti kurang berbobot atau mungkin juga salah dan tidak berkenan, mohon untuk dipahami dan dimaafkan. 

TANGGAL 1 Juni 2025 diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila yang ke-80. Kala itu Pancasila disepakati sebagai dasar negara tidak serta-merta namun melalui proses panjang dan perdebatan alot. Dari berbagai usulan yang disampaikan, Pancasila sebagaimana diusulkan oleh Bung Karno, akhirnya dite­rima sebagai dasar negara. Lima sila ini diuraikan panjang lebar oleh Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945. Gagasan ini memperoleh sambutan luar biasa dari peserta sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Ke­merdekaan Indonesia (BPUPKI). Pancasila merupakan kerangka dasar kehidupan bangsa Indonesia. Ke­majemukan bangsa ini telah me­nem­patkan Pancasila sebagai satu-sa­tunya pemersatu yang paling ide­al. Ini artinya Pancasila bukan se­ma­ta-mata menjadi dasar negara, na­­mun juga pegangan hidup bangsa yang memberi petunjuk arah dan tun­­tunan bagi hidup bersama. Pan­casila menyediakan tempat berpijak agar tidak terombang-ambing oleh ber­bagai penga­ruh dan tekanan yang dapat menghancurkan tatanan ke­hidupan ber­bangsa dan bernega­ra.

MASIH terngiang-ngiang ditelinga ini, Ketika PRESIDEN RI ke-7 Yang lalu – dalam sambutannya pada hari lahirnya Pancasila Yaitu Tanggal 1 Juni mengingatkan semua apa yang dikatakan Bung Karno, Bapak Bangsa penggali Pancasila, bahwa dari kelima sila Pancasila kita dapat inti sarinya adalah pada Gotong Royong. Pancasila sebagai dasar negara tidak lahir dalam kondisi yang nyaman dan tenang, namun lahir dalam pergolakan dinamika yang luar biasa besar dan berat, ditengah tengah himpitan tekanan penjajah yang ingin merongrong bangsa dan negara, untuk dijadikan budak para penjajah.

Di tengah pudarnya penghayat­an terhadap Pancasila, Presiden Jo­ko Widodo (Jokowi) saat itu, menggagas revo­lu­si mental yang disambut begitu ba­ik oleh segenap lapisan ma­sya­ra­kat. Revolusi mental diyakini sebagai jawaban atas akutnya krisis yang melanda bangsa dewasa ini. Re­volusi mental merupakan suatu pa­radigma baru dalam konteks na­tion and character building. Per­soalannya, sudah sejauh mana re­volusi mental ini kita jalankan? Atau­kah, revolusi mental justru terancam mental. Ya, mungkin terpental mental bangsa ini tak karuan.

Dekadensi moral yang melanda bang­sa ini sudah semakin akut. Ma­syarakat kita sedang mengalami sa­kit sosial yang kronis. Hal ini dapat dibenahi dengan kembali pada penghayatan yang sungguh terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Realitas se­karang ini keberadaan Pancasila ti­dak lebih hanya diingat sebagai sim­bol tanpa ada lagi kepedulian un­tuk mengamalkannya. Entah da­lam penyelenggaraan negara mau­pun kehidupan sehari-hari yang ter­ja­di kini adalah nihilisme nilai-nilai Pancasila. Ini merupakan sinyal bagi kita semua untuk segera bergerak menegakkan kembali nilai-nilai Pan­ca­sila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

REVOLUSI MENTAL menjadi sarana un­tuk pendidikan moral bagi ma­sya­rakat maupun para penyelengga­ra negara ini. Pancasila sebagai da­sar negara sekaligus pedoman hidup bangsa merupakan sumber moral. Un­tuk itulah revolusi mental dalam pelaksanaannya harus dilandasi oleh kelima sila. Revolusi mental akan kehilangan arah jika tidak ber­pegang erat pada Pancasila. Akhir­nya jadikanlah re­volusi mental sebagai kesempatan emas untuk mem­ba­ngun ma­sya­rakat yang Panca­si­lais. Sungguh, betapa penting Pan­ca­sila sebagai landasan dari ‘revolusi men­tal’. Dekadensi moral akut yang te­ngah melanda masyarakat kita yang saat ini mengalami sakit sosial kro­nis harus kembali pada Pan­ca­si­la sebagai pedoman hidup bersama. Harapan­nya, semoga cita-cita ‘revolusi mental’ dapat mewujudkan ma­sya­rakat yang mengakui dirinya sebagai bangsa yang Pancasilais.

Hari ini Minggu – 80 tahun yang lalu, Bung Karno berpidato di hadapan Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Bung Karno sengaja berpidato di akhir sidang untuk menyerap segala aspirasi dan segala ide dan pemikiran dari tokoh-tokoh founding fathers yang lain. Sebelum Bung Karno berpidato ada banyak tokoh mengemukakan apa yang harus menjadi dasar negara Negara Indonesia yang akan merdeka. SEDANGKAN, Tokoh Islam saat itu yang dikomandoi oleh Ki Bagus Hadikusumo (Tokoh Muhammadiyah) dan KH Wahid Hasyim (Tokoh Nahdatul Ulama) mengemukakan Islam sebagai Dasar Negara. Kaum nasionalis sekular antara lain Bung Hatta dan Mohammad Yamin menolak salah satu agama dijadikan sebagai dasar negara. Namun, kedua tokoh tidak secara eksplisit menyebutkan apa alternatifnya, hanya mengemukakan butir-butir dasar filosofis untuk negara Indonesia Merdeka. Bung Karno sudah memahami situasi yang ada dalam persidangan BPUPKI. Beliau mencoba ir-soekarno untuk mempersatukan dua golongan yang berseberangan ini. Semua hadirin saat itu sudah sangat kenal bahwa Bung Karno adalah orator ulung dan pidatonya bisa sangat punya daya pikat yang kuat. Dalam pidatonya beliau memuji kalangan Islam dan khususnya isi pidato Ki Bagus Hadikusumo. Bung Karno sendiri sebenarnya termasuk tokoh nasionalis sekuler, namun berkali-kali menyatakan dirinya pengagum Muhammadiyah dan pernah berpesan jika beliau wafat dishalati oleh tokoh Muhammadiyah (keinginan Bung Karno akhirnya terkabul. Buya HAMKA yang mengimami shalat jenazah Bung Karno).

Dengan akalnya yang cerdas dan cemerlang, Bung Karno mencoba untuk melahirkan sebuah sintesa baru. Sintesa itu bernama Pancasila. Sebenarnya dasar-dasar yang diajukan oleh Bung Karno tidaklah luar biasa. Namun, karena pidato itu ditutup dengan sebuah istilah yang menarik: Pancasila, seolah-olah dasar negara Indonesia mempunyai alternatif baru. Dasar negara kita bukanlah agama, bukan pula sekuler. Tapi dasar negara kita adalah Pancasila.

Era sekarang ini banyak yang mengeluh Pancasila mulai dilupakan orang. Kita tahu di era globalisasi ini batas-batas wilayah dan geografis mulai melentur. Akibatnya, nasionalisme pun seakan tak punya daya pikat lagi di tengah-tengah masyarakat. Kita hanya merasakan sedikit geliat nasionalisme jika membela Timnas Indonesia di ajang sepakbola. Sayang sekali, tim kesayangan kita ini “keok’ atau kalah di semua ajang kompetisi. Bulutangkis juga sama nasibnya. Jadi, apa lagi yang bisa kita banggakan? Wallahu ‘Aklam.

Kita harus dan wajib optimis. Indonesia sebenarnya negeri yang sangat kaya raya. Sayangnya, terlalu banyak yang menggerogoti negeri kita ini. Mulai dari penjarahan ekonomi dari para penjajah asing berbulu neolib sampai pembangkrutan kekayaan domestik melalui aksi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dari para pejabat dalam negeri. Yang perlu diperbaiki adalah mental manusianya. Betapapun baik dan hebatnya peraturan jika mental yang melaksanakan peraturan itu bobrok, sungguh tak bermakna apa-apa. Lihatlah berbagai kasus dalam bulan-bulan terakhir, lembaga peradilanpun sebagai tempat bangsa ini mencari keadilan juga “diambang kehancuran”.

Saya teringat kisah Nabi Musa AS yang ingin membebaskan bangsa Bani Israel dari perbudakan di negeri Mesir. Setelah dibebaskan, ternyata bangsa Yahudi ini cinta dan pemujaannya pada materi bersimbolkan “patung sapi emas” sudah berurat dan berakar. Apa yang terjadi? Misi Nabi Musa AS mengantarkan bangsa Yahudi ke negeri yang dijanjikan (Palestina) tidak pernah selesai sampai sang nabi meninggal dunia.

Mental dan Spiritual adalah modal yang terlupakan oleh banyak manusia. Bagaimana dengan Pancasila? Tanpa kekuatan mental dan spiritualitas, Pancasila hanya ibarat menggunakan topi baja di tubuh para serdadu yang lemah dan tanpa keberanian. Senyatanya, nilai-nilai ini akan hidup dan menggerakkan kita sebagai sebuah bangsa yang bergotong royong bersama ketika syarat-syarat untuk menyalakan api Pancasila ini terpenuhi dengan baik. Salah satu syarat utamanya adalah sistem politik yang sehat, yang membangun kepercayaan (trust) rakyat pada negara sebagai kendaraan untuk melalui “jembatan emas” kemerdekaan menuju cita-cita blusukan bersama. Untuk itu, kita memerlukan pemimpin-pemimpin yang tidak memandang rakyat sebagai pemberi suara semata, tapi sebagai rekan-rekan dalam perjuangan semesta. 

Syarat lainnya adalah keberanian untuk memilih masa depan daripada kepentingan kelompok dan kepentingan jangka pendek untuk mempertahankan kekuasaan. Kita harus mendorong dengan keras supaya negara dapat melindungi segenap tumpah darah Indonesia dari mereka yang berupaya merobek tenun kebangsaan. Hanya ketika hukum ditegakkan dengan seadil-adilnya, kepercayaan yang mengikat negara dan warga negara tumbuh dan menggerakkan.

Jika ada benalu-benalu yang menghisap daya hidup Pancasila di dalam sistem politik kita dan menghambat upaya-upaya perbaikan, warga negara yang tidak memiliki kepentingan lain selain Indonesia yang lebih baik dan bermartabat harus bangkit dan mengorganisir diri. Syarat utama pengkeroposan republik ini berjalan efektif adalah jika orang-orang baik hanya diam, hanya mengeluh dan tak berbuat apa-apa. Kepada mereka yang menghambat kita katakan bahwa api Pancasila akan membakar kejahatan-kejahatan mereka.

Di hari ini kita sama-sama serukan : Mari berhenti lipat tangan, saatnya turun tangan melunasi janji kemerdekaan dalam semangat negara gotong royong, semangat yang jadi saripati Pancasila kita. Pancasila telah berusia 80 tahun. Para pendiri bangsa telah meletakkan pandangan hidup berbangsa dan bernegara dengan cerdas. Kini saatnya kita mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dan melalui proses dialektika, mewariskannya kepada next generation. Kita rintis sebuah bangsa yang gilang gemilang, Indonesia Emas - ada sebuah media yang menyebutkan dengan ”Indonesia 2030”, yang dapat dinikmati oleh generasi nanti. Ya, kelak dapat menyaksikan anak cucu kita berada pada era Indonesia Emas tersebut. Insya Allah.


Dari Bumi Sultan Iskandar Muda, 01 Juni 2025.

0/Post a Comment/Comments