KRITIKAN MAHASISWA ; Membuatku Merenung dan Tafakur

Oleh : T.M. Jamil, Dr, Drs, M.Si Associate Profesor, Senior Lecture, pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh.

BUKAN ungkapan langka jika ada orang berkata ; jadi dosen itu enak, tinggal bagikan copy-an bahan ajar, suruh mahasiswa diskusikan. Beres, bukan?. Dosen semacam itu lebih tepat disebut “distributor bahan ajar”. Ia bukanlah dosen apalagi pendidik — jika dikaitkan akan arti harfiah profesi seorang dosen. Karena apapun aktifitas perkuliahan, dosen wajib mendampingi mahasiswanya, ia sebagai tutor, fasilitator dan juga learning guide.

Meskipun seperti saat ini, dosen dan sahabat-sahabatku, selalu disibukkan dengan berbagai tugas dan kewajibannya mengajar, meneliti, menulis dan juga untuk mengisi Form Evaluasi Kinerja Dosen (EKD) atau apalah namanya, Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), dan ditambah lagi tugas ekstra para Dosen, kolegaku — harus mencari dan mengotak-atik lagi dokumen-dokumen lama mulai dari SK CPNS 80%, sejak diangkat sebagai PNS sampai SK Pangkat/Golongan terakhir, sebagai kelengkapan Administrasi PNS Karena Para Dosen kini telah “pindah rumah” dari Departemen Pendidikan Nasional ke “rumah baru”, yaitu Departemen Riset dan Pendidikan Tinggi. Seharusnya, para dosen kita tidak perlu repot-repot lagi untuk memfotocopy dokumen lama, karena semua yang diperlukan itu sudah ada di file masing-masing dosen di tingkat fakultas atau pada SIMPEG di tingkat Universitas.

Ya, kita mau gimana lagi, terpaksa mengikuti “perintah pimpinan” dan harus dilaksanakan dalam batas waktu yang telah ditentukan. Begitulah gaya birokrasi kita saat ini, sistem "manajemen kagetan'. Hampir tiap saat kita dikagetkan dengan berbagai aturan, peraturan dan undang-undang yang muncul secara mendadak. Hhmmm … Sesibuk apapun dosen, tugas mengajar dan membimbing mahasiswa tidak boleh diabaikan. Entahlah .. pemikiran itu mungkin hanya menurut pendapat saya pribadi.

Hari ini saya masuk mengajar – di ruangan kuliah – saya ajukan sebuah pertanyaan ringan dan santai kepada mahasiswa saya : “Bahan ajar apa yang hendak saya sampaikan pada pertemuan kita kali ini?”. Tak seorangpun menjawab dengan benar, malah ada yang tidak tahu. Padahal soft copy/hard copy telah saya bagikan sejak “TM” (Tatap Muka) kuliah pertama. Selanjutnya, saya bertanya lagi : “Kemampuan apa yang Saudara-saudari peroleh setelah mengikuti Kuliah Tatap Muka ini?”. Sayapun berkata kepada mereka, Saudara-saudari tak perlu jawab sebab pertanyaan awal saya juga telah membingungkan Saudara-saudari. Mari kita mulai saja kuliah — Saya hari ini memulai kuliah Ilmu Sosial dengan Pokok Bahasan : “Sehat, Perilaku Individu, dan Keturunan dalam Perspektif Teori Humaniora”.

Saya tidak kaget dengan fenomena seperti ini. Sayapun tak menyalahkan mereka, sebab mungkin saja GBRP – Garis Besar Rancangan Pembelajaran – itu tak dianggap penting oleh mahasiswa. Bisa saja yang disebut penting oleh mereka — adalah kehadiran, ikut kuliah, UTS/UAS dan selanjutnya dapat nilai bagus. Ini kerap terjadi tiap semester di kampus tempat saya mengabdi, entahlah, kalau di kampus lain? Mungkin sama saja – di Kampus lain juga hal seperti itu, sudah lazim terjadi. Begitulah kata-kata teman-temanku yang juga berprofesi sebagai dosen.

Hari ini saya dikritik seorang mahasiswa tentang materi kuliah yang saya berikan. Ia acungkan tangan dan menegaskan bahwa ia tak setuju dengan teori Sehat dan Perilaku Individu dihubungkan dengan Keturunan (dalam bahasa ilmiah disebut : genetika). Sanggahan ini membuat teman-teman di sampingnya merasa grogi, takut dan wajahnya pucat. Saya pribadi hanya terdiam, sambil menanti argumentasi dari sang mahasiswa tersebut. “Jika benar garis “keturunan/genetik” sangat berpengaruh terhadap sebuah keluarga atau individu itu, maka seharusnya, Almarhum Prof. Dr. Ing. BJ.Habibie tak perlu menyekolahkan lagi Akbar dan Ilham Habibie. Tanpa sekolahpun Akbar dan Ilham Habibie akan pintar seperti ayahnya. Toh ini keturunan/genetika-nya. Tapi kenapa Akbar dan Ilham masih disekolahkan?”. “Bahkan, Pak”, lanjutnya lagi. “Almarhumah salah seorang menteri kesehatan kita, penyakitnya tidak diwarisi dari ayah ibunya”, timpalnya lagi. 

Saya tak menyoroti argumentasi/kritikan mahasiswa ini, yang saya salut darinya, sebab ia mau, mampu dan berani untuk mengungkapkan isi pikirannya di hadapan saya dan rekan-rekan mahasiswa lainnya.

Mahasiswa tersebut seingat saya — sudah pernah ikut mata kuliah saya, setahun silam. Dia rajin kuliah, ikut UTS dan UAS. Saya penasaran, ada apa dengannya. Setelah Usai kuliah, saya ajak dia ke sebuah ruangan. Saya siapkan kursi untuknya, saya memang sangat membutuhkan mahasiswa seperti ini. Butuh penjelasan darinya. Oh, ternyata, ia tidak lulus mata kuliah saya tahun lalu. Iapun duduk dengan sopannya. Saya ambil arsip perkuliahan dan daftar nilai di filing cabinet. Saya buka-buka, ternyata ia memang TIDAK LULUS. Sayapun menutup arsip itu, bertanya kepadanya: “Ada yang aneh menurut saya. Anehnya, kok Anda tidak lulus mata kuliah Bapak tahun lalu?”. Ia menghela nafas, memperbaiki posisi duduknya. Saya paham, ada sesuatu yang ia hendak sampaikan secara serius dan penuh hati-hati. Dari raut wajahnya kelihatan mahasiswa ini berani untuk mengungkapkan sebuah kejujuran. Saya suka mahasiswa semacam ini. Ini jawaban mahasiswaku tadi : “Saya pantas tidak lulus. Sebab, soal-soal Bapak/Asisten Bapak tahun lalu tidak sejalan dengan pikiran saya. Teman-teman saya lulus karena antara soal dengan jawaban relevan. Relevan dengan text book. Saya pun bisa lulus, jika saya mau, Pak”. 

Saya simak ucapan-ucapan mahasiswaku ini. Saya persilakan dia untuk melanjutkannya, “Tapi saya minta maaf Pak, saya tidak mahir dan cerdas dalam menjawab pertanyaan yang text book. Saya menyukai pertanyaan yang terbuka dan tidak mengekang kreatifitas untuk berpikir. Penulis buku dalam text book itu pasti sesuai dengan pikiran penulis. Pemikirannya berbeda dengan saya, Pak. Saya pun menjawab soal-soal Bapak tahun lalu didasarkan pada pikiran saya pribadi. Pikiran saya dinilai salah, sehingga saya tidak lulus. Sedangkan pemikiran penulis buku dalam text book itu dinilai benar. Buat saya, tak ada yang absolut di dalam text book.

Perkara lulus atau tidak lulus, tidak ada kaitannya dengan soal kebodohan atau kepintaran. Makanya Pak, menurut saya pribadi, Nilai Akreditasi sebuah jurusan/program studi dan institusi-pun, tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan Nilai Ijazah dari Mahasiswa dan Alumninya. Banyak teman-teman mahasiswa kita yang predikat kelulusannya “Cum Laude dan Terpuji”, Tapi Nilai Akreditasi Jurusan/Institusi tempat ia menuntut ilmu masih berkategori rendah (C). Ini Pak, hanya soal pikiran/pandangan saja yang berbeda. Begitu juga seperti Saya menjawab soal dari Bapak atau Asisten Bapak tahun lalu dengan pikiran saya sendiri.

Namun sejujurnya, saya puas melakukannya, walau pun saya tidak lulus. Saya sangat puas dan bangga, Pak”. Karena saya telah melakukan dengan baik berdasarkan kejujuran sebuah hati dan kemerdekaan jiwa saya sendiri. Ucapan panjang mahasiswa saya hari ini membuat diriku tertunduk, merenung dan bertafakkur. Baru kali ini saya mendapatkan kritikan terbuka dari seorang mahasiswa. Tiada alasan bagi saya untuk menolak atau marah terhadap kritikan mahasiswa ini, saya salut dan bangga dengannya. Bergegas saya ambil arsip daftar nilai.

Berkatalah saya kepadanya : “Maafkan saya, Mungkin, Bapak atau Asisten Bapak yang salah dan keliru. Tidak ada manusia yang sempurna, sehebat dan sepintar apapun, pasti manusia bisa saja salah dan keliru. Terbuka mata, Bapak sadar dan menyadari sekarang, setelah Anda menjelaskan pendapat Anda. Anda tak perlu ikut kuliah saya lagi tahun ini. Saya memiliki hak prerogatif untuk mengubah nilai Anda. Dan saya sendiri yang akan mengurusnya di bagian akademik/pengajaran atau pihak Dekanat”.

“Maafkan saya, Pak. Saya tetap akan ikut kuliah bersama Bapak lagi. Saya bukan penuntut/mencari nilai Pak. Saya penuntut dan Pencari ilmu” dari Bapak. Ucapan ini mengakhiri percakapan saya dengannya. Akhirnya, Sayapun pulang dari kampus menuju Rumah. Ucapan mahasiswaku ini masih terngiang-ngiang ditelingaku sepanjang perjalananku hari ini. Saya hanya tertegun, seraya membenarkan juga perkataannya.

Ya, ucapan mahasiswa itu tadi membuatku terkesima dan sadarkan diriku dari alam pengajaran yang terjadi selama ini, so text book, so closed. Hhhhhmmmm … Bagaimana dengan Anda, yang seprofesi denganku ? Mari Kita Merenung !!! Salam Sukses, Untuk Orang-Orang Yang Selalu Terbuka Hatinya Untuk Bisa Menerima terhadap “sebuah kritikan” yang diucapkan dengan penuh Kejujuran.


Pojok Kampus, 13 Mei 2024.

0/Post a Comment/Comments