''WAWANCARA EKSKLUSIF'' Bank Syariah di Aceh: Esensi atau Hanya Formalitas?

Prof. Dr. TM. Jamil (Akademisi dan Ilmuwan Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Syiah Kuala.)

"Seberapa penting Bank Syariah itu bagi rakyat Aceh, jika perlakuannya masih sama dengan bank konvensional?"

DALAM penerapan Syariat Islam di Aceh, kehadiran bank syariah diharapkan menjadi salah satu pilar penting dalam mendukung ekonomi masyarakat. Namun, pertanyaan kritis muncul: apakah bank syariah di Aceh benar-benar berfungsi sebagai lembaga keuangan yang berlandaskan prinsip syariah, ataukah hanya sekadar formalitas belaka?

Berikut kutipan wawancara dengan Prof. Dr. TM. Jamil (Akademisi dan Ilmuwan Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Syiah Kuala.)

• Prof. TM, terima kasih sudah meluangkan waktu. Langsung ke inti, menurut Prof, seberapa penting kehadiran bank syariah di Aceh bagi masyarakat?

Prof. TM: Kehadiran bank syariah di Aceh secara prinsip sangat penting karena Aceh memiliki kekhususan dalam penerapan Syariat Islam. Maka, sistem keuangan pun diharapkan harus selaras dengan prinsip-prinsip tersebut. Namun, kita harus jujur dan objektif dalam mencermatinya. Pentingnya itu tidak hanya dalam nama, tapi juga dalam praktik dan keberpihakan terhadap rakyat dan ummat.

• Lalu bagaimana Prof melihat realitasnya saat ini? Ada anggapan bahwa bank syariah hanya berganti nama, tapi praktiknya masih "rasa konvensional".

Prof. TM: Kritik itu valid dan perlu ditanggapi secara serius. Jika bank syariah hanya berubah nama tanpa perubahan paradigma, dan juga tanpa keberpihakan kepada ekonomi rakyat, maka esensi dari perbankan syariah itu hilang dan tak berarti. Rakyat Aceh tidak butuh sekadar label atau simbol "syariah", mereka butuh keadilan, kemudahan akses, dan keberpihakan serta kebermanfaatan.

• Apa yang Prof maksud dengan "keberpihakan"?

Prof. TM: Keberpihakan itu misalnya terlihat dalam cara bank membantu UMKM, petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil. Jangan sampai bank syariah justru bersikap lebih birokratis atau lebih ketat dibanding bank konvensional. Jika margin-nya sama, syaratnya lebih berat, atau penyalurannya hanya ke kalangan masyarakat tertentu, maka rakyat tidak akan merasakan manfaat peralihan ini.

Apakah berarti saat ini bank syariah di Aceh belum memenuhi harapan tersebut?

Prof. TM: Saya tidak mengatakan semua seperti itu, tetapi secara umum, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secara serius, bijak, dan tanpa menutup diri untuk menjadi lebih baik. Edukasi kepada masyarakat masih sangat kurang. Banyak di antara kita yang masih bingung, merasa tidak dilayani dengan baik, atau bahkan kehilangan akses pembiayaan.

Apa yang harus dilakukan agar perbankan syariah di Aceh benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar simbol?

Prof. TM: Pertama, perlu pembenahan dari sisi regulasi dan pengawasan, agar prinsip syariah dijalankan secara menyeluruh. Kedua, Sumber Daya Manusia perbankan syariah harus benar-benar paham maqashid syariah, bukan sekadar aspek legal formal. Ketiga, edukasi masyarakat agar mereka bisa menjadi nasabah yang kritis dan paham hak-haknya. Dan terakhir, perlu ada keberanian semua pihak untuk mengevaluasi kebijakan, jangan sampai karena alasan "syariah" kita menutup mata terhadap ketidakadilan baru yang muncul.

Terima kasih atas pandangan yang sangat mendalam, Prof. Kita berharap ini semua bermanfaat bagi semuanya.

Prof. TM: Sama-sama. Semoga ke depan bank syariah bukan hanya sekadar nama, tapi benar-benar menjadi sarana keadilan ekonomi bagi rakyat Aceh. In Sha Allah, Barakallah.

Editor : Ayahdidien 

0/Post a Comment/Comments