NAK, izinkan aku bicara jujur dan terus terang. Kalian yang suka pamer harta, pamer mobil, tas, rumah mewah, jam tangan mengkilap, sebenarnya kalian sedang memperlihatkan logika paling cacat dalam hidup: mengira nilai diri bisa diukur dari barang.
Kau pikir makin mahal benda yang kau pakai, makin tinggi martabatmu? Kukasih tahu, yang kau pamerkan bukan harga barang, melainkan kosongnya percaya diri.
Coba pikir pelan-pelan. Kalau benar kau bahagia dengan hidupmu, kenapa harus minta saksi lewat kamera? Kalau benar kau tenang dengan pencapaianmu, kenapa perlu sorak-sorai dari orang asing di kolom komentar?
Logikanya sederhana: orang yang betul-betul bahagia tidak sibuk membuktikan kebahagiaannya. Yang sibuk membuktikan itu justru orang yang meragukan dirinya sendiri.
Kalian terjebak dalam lingkaran setan gengsi. Sekali pamer mobil, besok harus lebih mewah. Sekali pamer tas, minggu depan harus keluaran terbaru. Hidupmu jadi panggung sandiwara: tiap babak harus lebih megah, kalau tidak kau takut dicap gagal.
Kalian pikir dunia memberi kalian pujian gratis? Hahaha. Pujian itu racun, Nak. Sekali dicicipi, kalian jadi kecanduan. Dunia akan minta balasannya: tampil lebih wah, lebih gila, lebih mahal. Kau terjebak utang demi komentar “keren bro”. Kau bayar dengan cicilan, stres, dan mungkin akhirnya harga diri.
Itu bukan hidup, Nak, itu penjara. Penjara yang kau bangun sendiri dari utang, mungkin hasil korupsi, dari kecemasan, dari rasa haus akan pengakuan.
Dan jangan bilang orang kagum padamu. Mereka tersenyum di depan, tapi di belakang menertawakanmu. Mereka bilang, “Wah keren,” tapi di grup chat mereka menulis, “Kasihan ya, hidupnya tergantung tas dan mobil.”
Kau kira kau sedang menundukkan orang dengan flexing, padahal kau sedang jadi badut gratis.
Lebih parah lagi, kalian salah kaprah soal harga diri. Kau kira nilai manusia terletak pada benda yang langka. Padahal justru hal paling langka dalam dunia ini bukanlah sepatu edisi terbatas, melainkan hati yang tenang, hidup yang jujur, senyum yang tulus.
Kau kira keren tiap hari nongol dengan outfit baru. Padahal itu kayak tikus yang lari di roda besi, muter-muter tapi nggak ke mana-mana. Kau konsisten jadi korban gengsi. Komitmenmu bukan ke hidup, tapi ke sorotan kamera. Itu bukan konsistensi, itu kebodohan yang dijaga rapat-rapat.
Kau pikir kalau kau mati, jam tanganmu ikut masuk kuburan dan bikin malaikat kagum? Yang ada tanah, kain kafan, dan orang-orang yang mungkin malas mendoakanmu karena seumur hidup cuma sibuk pamer.
Kau kira orang hormat karena mobilmu? Karena jam tanganmu? Otoritas macam itu rapuh, sekali listrik mati, lampu sorot padam, kau cuma orang biasa yang ditinggal sendirian.
Otoritas sejati itu dihormati karena integritas, bukan karena kredit mobil sport. Kau pikir kalau kau mati, jam tanganmu ikut masuk kuburan dan bikin malaikat kagum? Yang ada tanah, kain kafan, dan orang-orang yang mungkin malas mendoakanmu karena seumur hidupmu cuma sibuk pamer.
Kau pamer barang limited edition. Tas 1 dari 100, mobil 1 dari 50. Katamu itu bikin hidupmu istimewa. Padahal semua itu cuma strategi toko untuk nguras kantongmu.
Kau tahu apa yang benar-benar langka? Orang yang bisa bahagia tanpa butuh pamer. Orang yang bisa duduk minum kopi sachet sambil ketawa. Itu lebih limited edition daripada Hermes.
Barang bisa habis, bisa rusak, bisa hilang. Tapi kebersahajaan, ketulusan, dan rasa syukur—itu barang langka yang tidak bisa dibeli, bahkan oleh dompet setebal apa pun.
Kalian juga percaya kalau pamer membuat kalian diterima dalam kelompok tertentu: “Aku bagian dari orang sukses.”
Padahal itu ilusi. Kau hanya sedang memisahkan dirimu dari sesama manusia. Kau berdiri di menara gading yang rapuh, merasa hebat, tapi sebenarnya sendirian.
Kau flexing biar diakui: “Aku bagian dari orang sukses.” Padahal kau sedang mengusir dirimu sendiri dari kumpulan yang sejati: kemanusiaan.
Kamu melihat seleb flexing, pejabat pamer, lalu ikut-ikutan. Kamu kayak kambing ikut loncat ke jurang karena kambing lain sudah loncat duluan.
Hei, apa nggak malu hidupmu ditentukan oleh flexing orang lain? Bukti sosial macam apa kalau yang kau ikuti ternyata tak lebih dari orang tolol yang lebih miskin dari kelihatannya?
Kalian pamer biar disukai. Hahaha. Disukai karena dompet tebal itu cinta palsu. Orang suka padamu bukan karena dirimu, tapi karena saldo rekeningmu. Begitu saldo habis, mereka lari.
Nak, orang tua seperti aku sudah melihat banyak hal: bos-bos kaya yang pensiun jatuh miskin, dan tahu apa yang tersisa? Sunyi. Teman-teman flexingnya hilang. Cinta palsu itu, Nak, lebih menyakitkan dari kemiskinan.
Kau jadikan hidup ini sekat antara “aku yang kaya” dan “kalian yang miskin.” Kau merasa satu dengan geng flexing, padahal mereka pun tak peduli padamu. Kesatuan palsu itu cuma bikin kau makin kesepian.
Orang-orang yang “satu kelas” denganmu tidak benar-benar peduli, mereka hanya menunggu giliran menertawakan ketika kau jatuh.
Nak, hidup itu singkat. Jangan habiskan dengan mengejar komentar “wow” yang umurnya tidak lebih panjang dari story Instagram. Jangan tunggu sampai barangmu habis dilelang, rumahmu dijarah warga, atau fotomu jadi bahan olok-olok karena dulu terlalu rajin pamer.
Bertobatlah. Hentikan flexing sebelum dunia benar-benar menghajarmu sampai nyungsep. Jangan tunggu sampai rumahmu digerebek debt collector, mobilmu ditarik leasing, tas branded-mu dijual kiloan. Jangan tunggu sampai wajahmu yang dulu penuh filter jadi headline berita: “Selebgram Ditangkap karena Penipuan.”
Nak, aku bicara pedas karena hidup terlalu singkat untuk basa-basi. Flexing itu candu, dan candu berakhir dengan kehancuran. Hari ini mungkin kau ditonton, besok kau ditertawakan. Hari ini mungkin kau dikagumi, besok kau jadi bahan gosip murahan. Orang akan bilang: “Dulu gaya, sekarang nyungsep.”
Orang yang sungguh berharga tidak butuh lampu sorot. Kehormatan sejati datang dari kesederhanaan, dari kerja jujur, dari kebaikan yang membuat orang lain mendoakanmu diam-diam.
Kalau kau ingin benar-benar pamer, pamerlah hal yang tidak bisa ditiru siapa pun: kemampuan menahan diri, keberanian hidup apa adanya, kemauan menolong tanpa pamrih.
Itulah flexing sejati, yang tidak bisa dipalsukan oleh filter kamera atau angka saldo.
Pada akhirnya, Nak, dunia tidak akan ingat tas apa yang kau pakai, tapi apakah kau manusia yang membuat hidup orang lain jadi lebih ringan. (*)
_____Penulis : Wicaksono
Posting Komentar