Pengamat Politik dan Akademik USK, Aceh.
KABEREH NEWS | Komentar anggota DPR RI Fraksi Demokrat, Benny K. Harman, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait implementasi UUPA kembali menyingkap persoalan klasik: masih ada elit politik nasional yang berbicara tentang Aceh tanpa pemahaman mengenai konflik sejarah, dinamika sosial, serta kerangka hukum yang melahirkan kekhususan Aceh. Pernyataan bernada meremehkan itu memantik reaksi keras dari akademisi dan praktisi politik di Aceh karena dianggap mengabaikan fakta sejarah yang seharusnya menjadi pijakan utama dalam setiap pembahasan tentang Aceh.
Lebih dari itu, sikap seperti ini menunjukkan adanya alergi terhadap Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki—kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia. Alergi semacam ini adalah pertanda gagalnya sebagian elite memahami bahwa MoU Helsinki merupakan kontrak politik yang mengikat negara secara moral, hukum, dan sejarah.
Aceh mengalami konflik bersenjata selama hampir tiga dekade, dengan dampak kemanusiaan yang sangat besar. Berbagai lembaga seperti Komnas HAM, Amnesty International, dan International Crisis Group mencatat bahwa konflik ini menelan sekitar 10.000 hingga 15.000 korban, termasuk jiwa warga sipil dan kombatan GAM. Selain itu, ribuan orang mengalami penyiksaan, ratusan lainnya dinyatakan hilang, dan lebih dari 150.000 warga harus mengungsi dalam berbagai gelombang.
Fakta ini menunjukkan betapa luasnya spektrum penderitaan selama konflik, dan semakin mempertegas bahwa Aceh tidak pernah mengalami normalitas selama tiga dekade tersebut. Kerusakan sosial, ekonomi, dan psikologis yang ditinggalkan konflik tidak bisa hanya diakhiri dengan pendekatan administratif.
MoU Helsinki pada tahun 2005 bukan sekadar dokumen politik, melainkan perjanjian perdamaian yang menghentikan siklus kekerasan yang telah berlangsung puluhan tahun. Dari MoU Helsinki inilah lahirnya UUPA dan seluruh kerangka kekhususan Aceh. Tanpa memahami konteks ini, setiap kritik terhadap kewenangan Aceh kehilangan validitas moral dan akademik.
Komentar Benny K. Harman menampilkan bagaimana ketidaktahuan terhadap konteks sejarah dapat menimbulkan distorsi dalam wacana publik. Pernyataan tersebut tidak hanya menyelesaikan persoalan Aceh menjadi urusan fiskal dan administratif, tetapi juga menunjukkan jauhnya pemahaman sebagian elite terhadap konsekuensi hukum dan politik dari MoU Helsinki.
Ironisnya, komentar ini datang dari partai yang pendirinya Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden Republik Indonesia yang memimpin langsung proses perdamaian Aceh dan menandatangani MoU Helsinki. Sudah seharusnya Fraksi Demokrat belajar dari pendiri partainya sendiri, memahami akar sejarah perdamaian, dan menghormati warisan politik yang dibangun pada masanya.
Aceh memang telah memilih jalan damai, namun bukan berarti Aceh kehilangan kenangan atas masa lalu. Sensitivitas sejarah Aceh perlu dihormati, bukan diprovokasi oleh komentar-komentar yang mengabaikan kepedihan masa lalu. Perdamaian Aceh adalah aset nasional yang dibangun melalui proses yang panjang, melelahkan, dan penuh pengorbanan.
MoU Helsinki adalah kontrak damai yang tidak boleh diperlakukan sebagai dokumen opsional yang dapat disetujui sesuka hati. Negara harus secara konsisten menghormatinya, termasuk oleh pejabat dan anggota legislatif yang berbicara di ruang publik.
Stabilitas Aceh hari ini ibarat singa yang sedang tidur: tenang bukan karena tidak mampu bangkit, tetapi karena damai adalah pilihan terbaik. Maka setiap komentar yang lahir dari ketidaktahuan sejarah sama saja dengan mengguncang ketenangan itu tanpa alasan yang sah.
Aceh tidak meminta semua pihak untuk menyetujui sikapnya. Aceh hanya meminta satu hal: hormati sejarahnya, hormati perjanjiannya, dan hormati perdamaian yang telah dibayar sangat mahal oleh rakyatnya—baik rakyat Aceh, maupun aparat negara yang ikut menjadi korban.(*)
Posting Komentar