Hari Pertama Ultimatum, Rakyat Menonton, Elite Saling Lempar

Foto AI, Hanya ilustrasi 

KITA mulai menghitung mundur. Hari ini, hari pertama ultimatum menuju pengesahan RUU Perampasan Aset. Saya pikir elite langsung bekerja. Yang ada malah saling lempar. Mari kita lindas, eh salah, kupas fenomena saling lempar elite ini sambil seruput kopi tanpa gula.

Hari ini, 4 September 2025. Satu hari setelah ultimatum mahasiswa diumumkan, 30 hari menuju pengesahan RUU Perampasan Aset. Hari pertama ini, rakyat menyalakan televisi politik, duduk di tribun kehidupan, menonton tingkah laku eksekutif dan legislatif. Apa yang kita saksikan? Drama lama, saling lempar tanggung jawab.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas berdiri di atas podium Graha Pengayoman, dengan nada serius ala filsuf Senayan. Katanya, kalau DPR ambil alih inisiatif, RUU bisa cepat. Kalau tidak? Ya, tunggu saja Prolegnas 2026 atau revisi Prolegnas 2025. “Duh, Pak. Masa’ harus nunggu lagi sih.”

Terjemahan rakyat, “Sabar ya, ini undang-undang, bukan mi instan. Tiga menit jadi itu hanya berlaku di dapur, bukan di parlemen.”

Padahal mahasiswa di luar sana sedang menghitung detik dengan jantung berdebar. Hari pertama ultimatum, dan jawabannya sudah klise, “akan dikomunikasikan”, “menunggu pembahasan”, “ditentukan kemudian.” Kata kerja masa depan yang basi, dipanaskan lagi seperti nasi kemarin.

Benny K Harman menimpali dari Kompleks Parlemen. “Kalau Presiden serius, bikin Perppu dong. DPR pasti dukung, toh mayoritas sudah cinta pada Pak Prabowo.”

Rakyat menatap layar, terbahak getir. Sejak kapan cinta mayoritas jadi alasan hukum ditegakkan? Ini undang-undang, bukan acara kontes dangdut yang bisa dimenangkan dengan SMS dukungan.

Narasi mahasiswa menggema di jalan-jalan. “Kami menonton tingkah laku kalian. Jangan berdiplomasi. Jangan gunakan jurus lama, saling lempar tanggung jawab. Kerjakan hari ini juga kalau mau membuktikan janji. Kalau memang serius memberantas korupsi, jangan tunggu matahari tiga kali terbit, jangan tunggu Prolegnas yang entah kapan beres. Hari ini, sekarang juga, buktikan!”

Tapi, ah, begitulah. Hari pertama ini malah jadi babak pembukaan opera politik yang sudah sering kita saksikan. Pemerintah menolak beban Perppu, DPR menawarkan cinta mayoritas, rakyat hanya kebagian kopi basi, asem.

Di layar imajiner tribun rakyat, skor masih 0–0. Bola ditendang ke udara, lalu dipantulkan ke dinding, jatuh lagi, dipungut, dilempar ke lawan main. Tidak ada yang menendang ke gawang.

Mahasiswa mencatat di buku harian ultimatum, Hari pertama = drama saling lempar. Eksekutif dan legislatif kembali berdansa dengan wacana, bukan dengan keputusan.

Rakyat tahu, mereka bisa bicara manis hari ini, esok, dan lusa. Tapi jam pasir ultimatum terus menipis. Hari demi hari, mahasiswa dan rakyat akan tetap duduk di kursi penonton, menyalakan sorot lampu ke panggung politik. Kali ini, tidak ada ruang gelap untuk bersembunyi.

Jika hari-hari berikut masih dipenuhi diplomasi kosong, saling lempar tanggung jawab, dan wacana tanpa aksi, maka ultimatum ini akan berubah menjadi kitab peringatan, rakyat tidak akan lagi sekadar menonton, mereka akan turun langsung ke panggung, menggantikan aktor-aktor yang sibuk bermain dialog. Sebab demokrasi bukan drama panjang tanpa akhir; demokrasi adalah panggung di mana penonton berhak mengganti lakon jika pemain utama gagal memberi makna.

Bila pemerintah serta dewan tetap menganggap waktu 30 hari ini sebagai kalender hias di dinding kantor, maka catatan ultimatum mahasiswa akan menjadi catatan sejarah. Bukan tentang betapa sulitnya mengesahkan undang-undang, melainkan betapa mudahnya rakyat kehilangan sabar. Saat itu, kalian bukan lagi pemimpin yang diawasi, melainkan pelaku sandiwara yang ditinggalkan penontonnya. Panggung politik yang kosong adalah mimpi buruk terbesar bagi siapa pun yang pernah merasa berkuasa.

Penulis : Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)

0/Post a Comment/Comments