DALAM POLITIK : Berkumpul dan Bersama, Ternyata Hati dan Cinta Tak Pernah Bersatu

Oleh : T.M. Jamil, Dr, Drs, M.Si Associate Profesor, pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh.


PADA suatu saat, di akhir dekade 80-an, saat saya masih aktif di gerakan mahasiswa, Gus Dur pernah bilang bahwa : “Bersatu tidak selamanya harus berkumpul ...”. Pernyataan itu disampaikan ketika Gus Dur meninggalkan beberapa santrinya di suatu makam untuk “disembunyikan” sehingga harus berpisah dengan teman-teman aktivis beberapa waktu.

Kata-kata itu begitu sederhana, tapi secara sosiologis dan strategis memiliki makna yang luas dan sangat mendalam. Ya, berkumpul dan bersatu memang dua hal yang berbeda meski kelihatan saling berhubungan. Orang yang berkumpul tidak mesti bersatu. Banyak contoh orang berkumpul, tapi tidak bersatu. Misalnya, orang berjudi. Mereka berkumpul dalam satu meja tapi tidak pernah bersatu, dalam politik juga terjadi, berkumpul tak satu hati, mereka berusaha untuk saling mengalahkan agar bisa mengambil keuntungan dari pihak lain dalam kemenangan.

Demikian sebaliknya, kadang kita harus berpisah untuk tetap bisa bersatu. Misalnya para pejuang yang dituntut harus berpisah dengan keluarga, kerabat dan sahabat demi mempertahankan dan menjaga persatuan di antara mereka. Meski secara fisik mereka tidak berkumpul, terpisahkan jarak, namun mereka tetap bersatu dalam ikatan tekad, cita-cita, komitmen dan rasa yang mentautkan hati dan jiwanya. Berkumpul terkait dengan aspek fisik (badaniah), sementara bersatu terkait dengan aspek rasa, jiwa dan hati (ruhaniyah) yang direfleksikan dalam tekad, cita-cita dan komitmen.

Seseorang yang berjiwa besar, memiliki cita-cita besar akan semakin mudah untuk bersatu, baik berkumpul maupun tidak. Karena jiwa dan cita-citanya telah melampaui kondisi fisik. Seorang politisi, pebisnis dan pemimpin masyarakat akan dengan mudah membangun persatuan, meski mereka tidak saling berkumpul. Mereka saling bisa memahami dan menyesuaikan diri meski terhalang jarak, karena mereka bersatu.

Demikian sebaliknya, meskipun mereka berada dalam satu partai, satu komisi, satu organisasi dan satu kelompok bisnis, jika jiwa mereka kerdil dan sempit maka akan mudah pecah, sehingga sulit bersatu. Meski mereka berkumpul setiap hari, namun mereka tidak pernah bisa bersatu karena hati dan jiwa mereka tidak pernah bersatu. Justru mereka saling menikam, saling memangsa dan saling menjatuhkan meski berkumpul dalam tempat dan wadah yang sama. Astargfirullahal Adhiem.

Nah, dalam Meghadapi penyebaran wabah virus beberapa waktu yang lalu, saya pribadi jadi teringat pernyataan Gus Dur mengenai berkumpul dan bersatu. Ketika ada anjuran menjaga jarak fisik (physical distance) dan menghindari kerumunan untuk melawan penyebaran wabah, maka sebenarnya hal ini sama sekali tidak terkait dengan persatuan. Anjuran jaga jarak dan hindari kerumunan justru bisa menjadi indikator mengukur soliditas dalam masyarakat.

Dalam masyarakat yang solid, penyebaran wabah seperti masa pandemi yang membuat mereka tidak berkumpul justru melahirkan berbagai gerakan yang memperkuat persatuan di antara mereka. Hal ini terlihat dari munculnya para relawan, tenaga medis dan berbagai gerakan kemanusiaan lainnya yang melakukan berbagai kegiatan melawan virus secara bersama sama, meski mereka tidak berkumpul.

Sebaliknya, dalam masyarakat yang retak, tidak bersatu (fragile) maka akan menjadikan ancaman wabah sebagai sarana mengambil keuntungan material dan politik untuk memenuhi kepentingannya. Bahkan mereka tidak segan-segan mengekploitasi semangat berkumpul masyarakat demi ambisi pribadi. Mereka melakukan propaganda bahwa berkumpul adalah sesuatu yang penting untuk menjaga persatuan dan syiar agama sehingga harus dipertahankan meski harus menanggung risiko tertular penyakit. Na’uzubillahi Min Zhalik.

Merujuk pada pernyataan, tepatnya nasihat Almarhum Gus Dur, di atas maka inilah saatnya kita melakukan strategi berpisah atau tidak berkumpul dalam ranah politik, khususnya menjelang Pilkada Aceh 2024, namun kita tetap bersatu dalam menghadapi berbagai kecurangan yang mungkin terjadi dalam kontestasi tersebut. Rasanya sudah sekian lama kita berkumpul dan berkerumun namun ternyata hati, perasaan dan cinta tidak bersatu. Karena banyak di antara kita yang justru saling mencaci dan menghujat dalam kerumunan atau permainan politik yang sama.

Barangkali dengan adanya Pilkada ini yang memaksa kita berjarak secara fisik dan menghindari kerumunan ini bisa menjadi momentum untuk melakukan Muhasabah dan Tafakur setelah kita disibukkan dalam kerumunan saat Pilpres dan Pileg 2024 yang justru membuat kita terasing dalam kebersamaan. Yaa Allah, Kuatkan Kami dalam Jarak Untuk Menuju Kebersamaan yang hakiki. Allahu Akbar. Aamiin Yaa Rabbal Alamin.


Kota Madani, 11 Mei 2024.

0/Post a Comment/Comments