Ketika Lembaga Pendidikan Sukses Mengejar "Prestise", Namun Gagal Meraih "Prestasi"

Oleh : T.M. Jamil, Dr, Drs, M.Si Associate Profesor, pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh


“Sering kali terjadi, para pendidik dan politisi menyatakan sesuatu yang tidak dapat dimengerti karena bahasa mereka tidak selaras dengan situasi konkret dari manusia yang mereka ajak bicara. Karena itu, pembicaraan mereka hanya sekadar merupakan retorika yang asing dan mengasingkan.” — Paulo Freire Dalam Buknya, Pendidikan Kaum Tertindas, hal. 89–90.

Hari Kamis, Tanggal 2 Mei 2024 lusa merupakan Hari Pendidikan Nasional, yang juga bertepatan dengan 27 tahun wafatnya Freire. Namun masih belum terlihat sedikitpun pengaplikasian teori-teori yang telah ia rumuskan di dalam sistem pendidikan nasional kita di Indonesia. Jangankan bicara sistem, akses saja baru selebar sedotan es teh hijau.

Ranking masih tumbuh subur di kelas-kelas. Murid masih diam dan meng-aminkan setiap perkataan gurunya. Mestinya dipahami, yang sekolah dan berijazah saja masih gagal dalam memahami dan membangun bangsa, apalagi yang tak sekolah, tak berijazah atau gagal studi. Relasi guru sebagai pengajar dan murid sebagai pelajar pun kini makin bergeser menjadi guru hanya sebagai fasilitator dan murid sebagai pelajar yang mengajari dirinya sendiri. Hal ini tentunya berdampak pada pembentukan diri dan generasi-generasi selanjutnya. Terus, terus dan terus direproduksi.

Saya mengamini bahwa kemanapun mahasiswa atau kaum intelektual lainnya melangkah, pasti tidak akan jauh dari masyarakat. Hal ini pun sudah dituangkan ke dalam salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat sebagai suatu tugas fungsi bagi para intelektual atas eksistensi dirinya.

Namun sepanjang yang saya ketahui dan pahami, pengabdian saat ini belumlah seperti pengabdian yang diharapkan, dimana masih minimnya proses dialogis secara kultural, dalam kasus ini, antara mahasiswa dengan masyarakat. Relasi subjek-objek seperti pada hubungan antara guru-murid dalam sistem pendidikan kita juga muncul dalam hubungan mahasiswa dan masyarakat. Kegiatannya lebih bersifat administratif dan hanya untuk melepaskan tanggung jawab dan tugas saja.

Mahasiswa merasa menjadi orang serba tahu, bagaikan malaikat dari surga, dan masyarakat sebagai penelan segala ilmu yang telah dipelajari mahasiswa sewaktu kuliah. Pada akhirnya, hanya terjadi pembenturan – pembenturan keyakinan yang membentuk persepsi buruk pada mahasiswa selaku intelektual muda. Lalu, mungkinkah pada diri mereka kita berharap dan kita titipkan masa depan bangsa dan ummat ini? Tentu pertanyaan tak mudah untuk menjawabnya...

Berterimakasihlah pada sistem pendidikan kita saat ini yang memproduksi intelektual-intelektual revolusioner namun buta akan realita dan fakta sosial. Ketika saling berkejar-kejaran demi popularitas, prestise, namun nol dalam aspek produktivitas dan gagal dalam meraih prestasi. Inilah yang banyak terjadi saat ini. Solusinya kembali kepada diri kita, mau menerima realita atau masih ingin terlelap dalam utopia (mimpi) yang tak akan pernah terjadi dalam realita. 

Lantas sudahkah Tri Dharma Perguruan Tinggi berjalan dengan baik? atau bahkan berfungsi dengan benar? Sudahkah pendidikan yang kita terima kita salurkan kepada masyarakat yang membutuhkan? Sudahkah penelitian – penelitian yang kita lakukan benar-benar berguna bagi masyarakat atau sekedar hanya memenuhi syarat akademik atau hanya untuk kepentingan untuk urusan pangkat dan mengejar jabatan akademik atau fungsional untuk menambah pundi-pundi tabungan? Wallahu ‘Aklam. Dan poin terpentingnya dalam tulisan ini, Apakah Hari Pendidikan Nasional masih perlu kita rayakan, jika realitas seperti itu? Entahlah … !!! Sebagai insan akademik, kita kecewa dalam melihat kondisi ini. Namun, kita hanya bisa diam, pasrah dan menerima dalam keterpaksaan tanpa ada ruang untuk menolak dan berdebat. Semoga menjadi renungan untuk kita semua. Insya Allah.


Sagoe Aceh Rayeuk, Akhir April 2024.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.