Pengamat Politik dan Akademik USK, Aceh.
ANALISIS, KABEREH NEWS Kejadian penjarahan di Sibolga membuka tabir paling telanjang tentang lemahnya manajemen darurat kita. Dalam situasi di mana banjir, longsor, dan akses terputus membuat warga benar-benar terisolasi, kebutuhan dasar tidak lagi menunggu tanda tangan atau surat persetujuan. Lapar tidak mengenal Peraturan Bapanas. Dalam keadaan darurat, yang penting bukan dokumen, tetapi detik—dan detik yang terlambat bisa menjadi perbedaan antara selamat atau merebut hak hidup dengan cara apa pun, termasuk menjarah.
Sistem penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) yang seharusnya menjadi “rem darurat” justru tersandera prosedur yang panjang. Peraturan baru menambah lapisan birokrasi : harus lewat Bapanas, analisis dulu, butuh persetujuan RUPS/Menteri BUMN, baru BULOG bisa bergerak. Dalam logika meja rapat, ini mungkin terlihat tertib. Tapi dalam realitas lapangan yang terendam lumpur, sistem seperti ini hanya melahirkan kelumpuhan. Akhirnya bukan warga yang salah—warga hanya bereaksi terhadap kelalaian negara dalam menyediakan kebutuhan paling dasar.
Komentar “wajar rakyat lapar” bukan hiperbola, melainkan diagnosis sosial. Lapar adalah bukti paling keras bahwa negara datang terlambat. Dan ketika ada yang menulis “selamat memakan prosedur,” itu bukan sarkasme semata, tetapi kritik terhadap birokrasi yang mendewakan aturan, namun lupa pada manusia. Indonesia terlalu sering menjadikan “prosedur” sebagai tameng, padahal dalam prinsip good governance, yang utama bukan mekanisme administratif, tetapi nilai: transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, fairness, serta partisipasi warga.
Prinsip-prinsip inilah yang seharusnya menjadi fondasi bergeraknya setiap lembaga dalam situasi bencana.
Transparansi berarti tidak ada yang disembunyikan soal stok dan jalur distribusi. Akuntabilitas berarti berani mengambil keputusan cepat dan bisa mempertanggungjawabkannya. Responsibilitas berarti bergerak tanpa tunggu perintah ketika nyawa terancam.
Fairness berarti seluruh warga mendapatkan hak pangan secara setara. Dan partisipatif berarti pemda, masyarakat, dan lembaga pusat bekerja sebagai satu tubuh, bukan sebagai rantai prosedur yang saling menunggu.
Sejarah membuktikan: saat tsunami Aceh 2004 dan gempa Yogyakarta 2006, BULOG mengeluarkan beras hanya dengan permohonan yang ditulis di kotak mi instan karena komputer rusak dan listrik padam. Tidak ada RUPS. Tidak ada analisis panjang. Tidak ada birokrasi berlapis. Yang ada hanyalah kesadaran bahwa dalam bencana, yang utama adalah keberpikakan pada manusia.
Karena itu, situasi hari ini harus menjadi momentum koreksi besar. Negara tidak boleh lebih takut melanggar prosedur daripada kehilangan warganya. Mekanisme yang terlalu panjang harus dipangkas. Prinsip harus menguasai prosedur, bukan sebaliknya. Karena di negeri rawan bencana seperti Indonesia, keselamatan rakyat tidak boleh tersandera kertas, stempel, atau rapat-rapat yang terlambat.
"Bukan prosedur yang menyelamatkan nyawa—tetapi keberanian untuk bertindak cepat berdasarkan prinsip..."
Masihkah ada manusia yang berhati mulia?
Posting Komentar