MAKNA SIMBOL BENDERA PUTIH PERSPEKTIF ILMU KOMUNIKASI: Bahasa diam paling jujur, Kemanusiaan, krisis Komunikasi dan ekologis


KABEREH NEWS | OPINI -- Bendera putih yang berkibar di Aceh pasca banjir dan longsor bukan sekadar kain yang digantung di depan rumah warga, jalan dan di ranah ruang publik. 

Makna bahasa komunikasi paling jujur yang lahir dari situasi paling ekstrem, hadir dari manisfestasi penderitaan rakyat, menjadi pesan komunikasi paling sunyi namun paling keras dan penuh makna kemanusiaan, silent communication, pesan yang tidak diucapkan tetapi sangat kuat dampaknya. 

Bendera putih makna jeritan tanpa suara. 

Hal tersebut muncul ketika seluruh saluran formal negara, kebijakan, pembangunan dan sistem komunikasi lingkungan dan kebencanaan gagal menjangkau manusia pada saat paling genting. Ketika kata-kata kehilangan daya, ketika saluran formal lumpuh, ketika negara hadir terlalu lambat, rakyat berbicara melalui simbol.

Simbol itu berbentuk bendera putih.
Dalam ilmu komunikasi, momen ketika rakyat memilih simbol ketimbang kata-kata menjadi tanda bahwa komunikasi struktural telah runtuh. 

Ketika warga Aceh mengibarkan bendera putih, sesungguhnya sedang di sampaikan bukan hanya kami butuh bantuan, tetapi juga pesan yang jauh lebih dalam, kami sedang ditinggalkan oleh sistem. Bendera putih di Aceh tidak berkibar di medan perang, tetapi di medan ketidakadilan ekologis. 

Bukan tanda kalah, tetapi tanda bahwa manusia kalah oleh sistem-sistem pembangunan yang mengabaikan lingkungan, tata ruang, partisipasi warga, nilai kearifan lokal dan keselamatan. 

Simbol ini beresonansi kuat dengan kejujuran eksistensial, kepasrahan yang bermartabat dan solidaritas sosial. Menjadi makna komunikasi yang lahir dari kesadaran kolektif. 

Pesan yang lahir dari penderitaan otentik memiliki daya sentuh yang lebih kuat dibandingkan narasi resmi yang steril. 

Bendera putih menjadi pesan empatik paling kuat yang dimiliki rakyat.

Ilmu Komunikasi memahami bendera putih sebagai pesan nonverbal kolektif-universal, pesan darurat yang diproduksi oleh komunitas rentan, korban musibah, ditujukan kepada siapa saja baik lokal, regional, nasional dan global. Tentu yang masih memiliki prinsip humanisme dan nurani. 

Pesan tanpa pengeras suara, namun menggema lebih keras daripada pidato kekuasaan. 

Bendera putih menjadi medium rakyat, pesan visual yang dapat dibaca oleh siapa saja, mampu bekerja lintas bahasa, lintas identitas, lintas kelas sosial, lintas teknologi dan lintas negara.

Rakyat tidak pasif menunggu, tapi aktif memproduksi pesan demi bertahan hidup. Itulah prinsip komunikasi dari bawah, komunikasi yang lahir bukan dari ruang rapat, tetapi dari genangan air dan tanah longsor. 

Mengibarkan bendera putih bukan tindakan tanpa beban psikologis dan spikososial, pengakuan bahwa daya tahan telah mencapai batas. Simbol ini lahir dari trauma kolektif, kehilangan rumah, mata pencaharian bahkan anggota keluarga.

Dalam kerentanan itulah muncul kekuatan sosial, bendera putih memicu empati, menggerakkan solidaritas dan membangkitkan nilai gotong royong Aceh yang berakar kuat dalam sejarah sosialnya. 

Menjadi panggilan moral bagi siapa pun yang masih mampu mendengar. Dalam komunikasi empatik, pesan yang lahir dari penderitaan otentik memiliki daya penggerak yang besar. Bendera putih tidak memerlukan retorika. Kejujuran sebagai kekuatannya.

Bendera putih dalam semiotika komunikasi bukan sekadar tanda, melainkan representasi realitas sosial. 

Mampu memadatkan banyak makna sekaligus sebut saja krisis pangan, kelelahan fisik, trauma psikologis, ketakutan dan harapan untuk hidup yang lebih bermakna. Bendera putih sebagai narasi penderitaan yang diringkas dalam satu simbol. 

Simbol ini juga menyimpan ironi pahit, karena berkibar di wilayah yang seharusnya dilindungi oleh kebijakan pembangunan dan tata ruang yang berkelanjutan. Bendera putih menjadi tanda kekalahan manusia oleh sistem yang di ciptakan sendiri.

Pandangan Roland Barthes, bahwa bendera putih sebagai penanda (signifier). Kondisi darurat, kelaparan, ketidakberdayaan sebagai petanda (signified), dan kegagalan perlindungan, ketimpangan bantuan dan ketidakadilan ekologis menjadi makna mitologis. 

Ketika simbol ini muncul secara masif, maka bukan lagi pesan individual melainkan menjadi diskursus sosial. John Galtung, menyebut situasi seperti ini sebagai kekerasan structural. Ketika sistem sosial, ekonomi dan politik secara tidak langsung melukai manusia.

Banjir dan longsor mungkin disebut bencana alam, tetapi penderitaan yang menyertainya merupakan bencana komunikasi, kebijakan dan kemanusian. Menunjukkan tidak berfungsinya komunikasi dua arah antara negara dan rakyatnya. 

Informasi mengalir satu arah, kebijakan dibuat tanpa mendengar suara lokal dan partisipasi rakyat hanya jargon proyek. Sehingga bendera putih menjadi kritik visual terhadap absennya komunikasi partisipatif dan empatik. 

Bahwa rakyat tidak hanya korban bencana, tetapi juga korban pembangunan yang bisu terhadap risiko ekologis.

Bencana Aceh tentu tidak bisa dilepaskan dari krisis ekologi, deforestasi, alih fungsi lahan, tambang dan pembangunan tanpa etika lingkungan. 

Perspektif ekologi komunikasi dipahami sebagai relasi manusia alam menjadi relasi komunikatif. Alam berbicara melalui banjir dan longsor namun pesannya terabaikan dan diabaikan. 

Sehingga bendera putih menjadi simbol bahwa komunikasi antara manusia dan alam telah rusak. Tanda bahwa alam telah lama memberi peringatan, tetapi suara itu kalah oleh kepentingan ekonomi dan politik. Dalam Ilmu Komunikasi Kritis, simbol ini sebagai counter-narrative terhadap optimisme palsu pembangunan. 

Membongkar ilusi bahwa pertumbuhan selalu berarti kemajuan. Maka, ketika bendera putih berkibar, yang runtuh bukan hanya rumah rakyat, tetapi legitimasi moral pembangunan itu sendiri.

Untuk itu, bendera putih di Aceh sebagai pesan yang tidak boleh dinormalisasi, jika hanya menjadi pemandangan biasa, maka semua kita telah gagal sebagai rakyat komunikasi atau mahkluk komunikasi. 

Tugas utama semua kita bukan sekadar menurunkan bendera itu dengan bantuan sesaat, emergensi, rehabilitasi, rekonstruksi, atau psikososal, tetapi mencegahnya berkibar kembali melalui komunikasi yang adil, kebijakan yang ekologis dan pembangunan yang mendengar, partisipatif dan berpusat pada rakyatnya. Sejatinya, bendera putih bukan tanda menyerah pada hidup,
namun jeritan agar hidup dipertahankan dan dianggap penting. Maka, dalam jeritan itulah, Ilmu Komunikasi diuji, apakah hanya menjadi teori di ruang akademik, atau benar-benar menjadi jembatan antara penderitaan dan keadilan.

0/Post a Comment/Comments