GEGER DI UJUNG BARAT: Membedah "Mimpi Buruk" Jakarta Jika Aceh Memilih Pergi

KABEREH NEWS | ACEH -- Bayangkan sebuah peta besar yang terbentang di meja mahoni Istana Negara. Tangan seorang penguasa menunjuk ke ujung paling barat. Di sana, di gerbang Samudra Hindia, terletak sebuah wilayah yang selama ini diredam dengan darah, ditenangkan dengan dana otonomi khusus, dan diikat dengan janji damai. Aceh.

Pertanyaannya sederhana namun mengerikan: Mengapa Jakarta begitu ketakutan—bahkan sampai gemetar—jika Aceh benar-benar angkat kaki dari Republik?

Jawabannya bukan sekadar sentimentalitas sejarah atau romantisme "Negara Kesatuan". Jawabannya jauh lebih gelap, pragmatis, dan menyangkut nyawa dari konstruksi negara bernama Indonesia.

Efek Kartu Domino: Runtuhnya Mitos NKRI

Ketakutan terbesar Jakarta bukanlah hilangnya tanah rencong itu sendiri, melainkan apa yang terjadi setelahnya. Aceh adalah kancing pertama dari baju Republik. Jika kancing ini lepas, seluruh pakaian akan terurai. Di sudut timur, Papua sedang menonton dengan mata nyalang. Di Maluku dan Sulawesi, memori lama bisa bangkit kembali. Jika Aceh berhasil membuktikan bahwa mereka bisa berdikari, Jakarta kehilangan argumen moral untuk menahan wilayah lain.

Lepasnya Aceh adalah sinyal dimulainya "Balkanisasi Nusantara"—sebuah mimpi buruk di mana Indonesia pecah berkeping-keping menjadi negara-negara kecil yang tak berdaya.

Leher yang Tercekik: Hilangnya Kunci Selat Malaka

Lihatlah posisi Aceh. Ia duduk tepat di mulut Selat Malaka, jalur pelayaran paling sibuk dan vital di muka bumi. Selama Aceh menjadi bagian Indonesia, Jakarta memegang kendali atas gerbang barat ini. Namun, bayangkan jika Aceh menjadi negara asing. Jakarta kehilangan kontrol atas "halaman depan" rumahnya sendiri.

Kapal-kapal dagang, armada militer asing, dan jalur logistik energi harus melewati perairan yang tak lagi dikuasai TNI AL. Secara militer, kehilangan Aceh berarti membiarkan lambung kiri Sumatera terbuka lebar tanpa perlindungan. Itu adalah bunuh diri pertahanan yang tak bisa diterima oleh jenderal manapun di Jakarta.

Harta Karun di Bawah Laut: Blok Andaman

Dulu kita bicara soal Kilang Arun yang legendaris, yang apinya pernah menghidupi pembangunan Orde Baru. Namun, mata Jakarta kini tertuju pada masa depan: Blok Andaman. Di lepas pantai Aceh, survei seismik menemukan potensi cadangan gas raksasa (giant discovery) yang digadang-gadang sebagai salah satu yang terbesar di dunia saat ini.

Ini adalah "baterai" masa depan Indonesia. Membiarkan Aceh pergi sama saja dengan menyerahkan kunci brankas negara kepada orang lain tepat saat isinya baru saja akan dipanen. Jakarta tidak akan membiarkan triliunan dolar aset masa depan itu menguap begitu saja.

Utang Darah dan "Daerah Modal"

Dan akhirnya, ada beban sejarah yang tak bisa dihapus. Aceh bukan Timor Leste. Aceh adalah "Daerah Modal". Rakyat Aceh-lah yang membelikan pesawat pertama republik ini (Seulawah RI-001). Mereka yang membiayai napas republik saat Yogyakarta jatuh. Jika Aceh pergi, narasi kebangsaan Indonesia runtuh.

Bagaimana mungkin sebuah negara bisa eksis jika "penyumbang saham" terbesarnya justru memilih keluar? Ini akan menjadi tamparan moral abadi yang menghancurkan legitimasi sejarah para elit di Jawa.

Epilog: Cinta atau Cengkeraman?

Maka, pahamilah ini: Kucuran dana Otonomi Khusus yang triliunan rupiah itu, atau pendekatan militer di masa lalu, bukanlah sekadar upaya menjaga persaudaraan. Itu adalah upaya survival. Bagi Jakarta, mempertahankan Aceh adalah harga mati. Bukan karena cinta yang meluap-luap, melainkan karena kesadaran mengerikan bahwa tanpa Aceh, Indonesia yang kita kenal hari ini mungkin tidak akan pernah sama lagi.

Jakarta tidak sedang mempertahankan provinsi; mereka sedang mempertahankan nyawa republik ini. (*)

0/Post a Comment/Comments