BANDA ACEH - Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Nasri Djalal, menegaskan bahwa porsi pendapatan migas Aceh saat ini jauh lebih besar dibandingkan masa kejayaan LNG Arun pada era 1970–1990-an. Melalui skema Dana Bagi Hasil (DBH) dan tambahan Dana Bagi Hasil Otonomi Khusus (DWH), Aceh kini menerima total hingga 70 persen pendapatan migas.
Penegasan tersebut disampaikan Nasri dalam diskusi publik Pojok Migas bertema “Pers dan Strategi Pentahelix Dalam Tata Kelola Migas Aceh” yang digelar di Banda Aceh, Rabu kemarin.
Nasri menjelaskan bahwa besaran porsi tersebut telah diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Menurutnya, Aceh menjadi salah satu daerah dengan pembagian pendapatan migas terbesar di Indonesia.
Dalam skema DBH, Aceh memperoleh 15 persen untuk minyak, terdiri dari 6 persen bagi daerah penghasil, 6 persen untuk seluruh kabupaten/kota, dan 3 persen untuk Pemerintah Aceh. Sementara untuk gas, Aceh mendapatkan 40 persen, meliputi 12 persen daerah penghasil, 12 persen kabupaten/kota, dan 6 persen provinsi.
“Tambahan Dana Bagi Hasil Otsus membuat total penerimaan Aceh mencapai 70 persen. Dana ini disalurkan langsung ke kabupaten/kota dengan prinsip by origin, sehingga daerah penghasil mendapat porsi paling besar,” jelas Nasri.
Ia menambahkan, target nasional produksi migas 2030 yang mencapai 1 juta barel per hari juga akan berpengaruh terhadap peningkatan DBH bagi Aceh.
Selain itu, pendapatan dari signature bonus kontrak baru maupun perpanjangan blok migas dapat memberi tambahan pemasukan, dengan nilai rata-rata sekitar 1 juta dolar AS per kontrak.
Nasri menyebut, kini Aceh berada pada fase strategis menuju gelombang kebangkitan migas kedua, setelah era Mobil Oil/ExxonMobil di LNG Arun.
Hal ini ditandai dengan hadirnya tiga blok eksplorasi baru yaitu, Bireuen-Sigli, Offshore North West Aceh (Meulaboh), dan Offshore North West Aceh–Singkil yang telah ditandatangani pada 2023 dan diperkirakan mulai berproduksi pada 2031.(*)
Posting Komentar