KETIKA KOP SURAT RESMI INSTANSI DIGUNAKAN UNTUK KEGIATAN PRIBADI ; "CERMIN BURAM ETIKA AKADEMIK"

Oleh : Teuku Muhammad Jamil
(Alumnus Program Doktor, Ilmu Sosial, 
Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.)


DALAM dunia birokrasi akademik, simbol-simbol kelembagaan seperti kop surat, stempel resmi, dan anggaran kampus bukan sekadar perangkat administratif. Ia adalah tanda kepercayaan publik. Setiap kali simbol itu digunakan, sesungguhnya ada tanggung jawab hukum dan moral yang melekat di dalamnya. Karena itu, penggunaannya untuk urusan pribadi bukan hanya tindakan tidak etis, tetapi juga bentuk penyalahgunaan kewenangan yang dapat merusak marwah institusi pendidikan.

Belakangan ini, beredar sebuah surat undangan yang dikirim oleh seorang teman baik untuk saya dari salah satu instansi pendidikan di sebuah kampus ternama di Aceh yang menggunakan kop surat dan stempel resmi instansi tersebut untuk kegiatan syukuran pengukuhan jabatan akademik. Acara tersebut tentu patut disyukuri sebagai pencapaian akademik, namun secara substansi bukanlah kegiatan kedinasan instansi, tetapi itu kegiatan pribadi yang bersangkutan.

Kasus ini sepertinya sederhana dan tampak sepele, tetapi sejatinya mencerminkan kaburnya batas antara kepentingan pribadi dan kelembagaan di sebagian lingkungan akademik. Dalam budaya birokrasi kampus di Indonesia, hal-hal seperti ini sering dianggap “bukan masalah besar.” Padahal dari praktik kecil seperti inilah pelanggaran etika publik bermula.

Penggunaan kop surat lembaga untuk kepentingan pribadi secara jelas melanggar aturan hukum dan tata naskah dinas.
Beberapa dasar hukumnya antara lain :

PermenPANRB Nomor 80 Tahun 2012 Pasal 5 ayat (3): “Kop naskah dinas hanya digunakan untuk kepentingan kedinasan.”

PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, Pasal 4 huruf f: “Setiap PNS dilarang menyalahgunakan wewenang.”

UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, Pasal 5: ASN wajib menjunjung nilai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.

Artinya, penggunaan fasilitas publik sekecil apa pun untuk kepentingan pribadi — baik kertas, printer, maupun logo lembaga — tetap termasuk penyalahgunaan fasilitas negara.

Dari sisi etika, tindakan semacam ini bertentangan dengan prinsip moral dasar aparatur publik.
Menurut Dwight Waldo (1952), setiap pejabat publik memegang “moral obligations of office” — kewajiban moral yang melekat pada jabatan dan simbol yang diemban. Sedangkan John Stuart Mill, melalui teori utilitarianisme, menegaskan bahwa tindakan yang benar adalah yang memberi manfaat terbesar bagi publik, bukan individu.

Maka, menggunakan simbol resmi negara untuk kepentingan pribadi — walau tanpa niat buruk — tetap saja tidak bijak dan merusak nilai manfaat publik dari simbol itu sendiri. Kampus, yang seharusnya menjadi teladan integritas dan rasionalitas moral, justru tampil tidak etis ketika gagal menjaga batas simboliknya.

Persoalan menjadi jauh lebih serius jika kegiatan pribadi seperti syukuran, pengukuhan, atau perayaan jabatan dibiayai oleh anggaran kampus. Dalam konteks keuangan negara, hal itu termasuk penyalahgunaan dana publik yang bisa berimplikasi hukum.

Beberapa regulasi yang menegaskan larangan ini antara lain :

UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 3: keuangan negara harus dikelola secara tertib dan bertanggung jawab.

UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 34 ayat (1): setiap pengeluaran atas beban APBN/APBD harus memiliki bukti yang sah.

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3: penyalahgunaan kewenangan yang menguntungkan diri sendiri dapat dipidana hingga 20 tahun penjara.

Jadi, menggunakan anggaran lembaga untuk acara pribadi bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi dapat masuk kategori korupsi administratif bila terbukti menimbulkan kerugian negara.

Selain melanggar hukum, tindakan itu juga menggerus moral akademik. Kampus hidup dari kepercayaan publik — dan setiap rupiah yang digunakan harus dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari amanah publik, bukan privilese pribadi.

Dalam menghadapi kasus seperti ini, Dewan Etik kampus memiliki tanggung jawab moral dan kelembagaan untuk menegakkan norma. Teguran etik bukanlah bentuk hukuman, melainkan tindakan edukatif untuk mengembalikan kesadaran akan batas antara pribadi dan publik.

Namun penanganan tidak cukup bersifat individual. Kampus perlu membangun sistem tata kelola yang transparan dan preventif, antara lain:

1. Menerbitkan Surat Edaran Rektor yang melarang penggunaan atribut dan dana publik untuk kegiatan pribadi.

2. Mengaktifkan Satuan Pengawasan Internal (SPI) untuk mengaudit kegiatan non-akademik yang memakai fasilitas kampus.

3. Verifikasi dan persetujuan berlapis sebelum surat atau kegiatan dengan biaya lembaga dikeluarkan.

4. Pelatihan etika birokrasi dan integritas ASN kampus bagi dosen dan pejabat struktural.

5. Transparansi keuangan publik melalui publikasi rutin laporan kegiatan dan belanja institusi.

Langkah-langkah ini penting agar setiap elemen kampus memahami makna tanggung jawab publik, bukan sekadar takut pada sanksi hukum.

Sebagian pihak mungkin beranggapan bahwa penggunaan kop surat atau dana lembaga untuk acara pribadi hanyalah bentuk penghormatan terhadap institusi. Namun, secara prinsip tata kelola publik, penghormatan tidak dapat dijalankan dengan melanggar aturan.

Mengatasnamakan lembaga tanpa mandat resmi berarti menyalahi batas representasi publik. Sebab, setiap simbol dan setiap rupiah publik adalah milik negara, bukan milik perseorangan.

Kasus kecil seperti penggunaan kop surat atau dana publik untuk kepentingan pribadi sejatinya menjadi cermin moral birokrasi akademik. Integritas lembaga tidak ditentukan oleh gelar atau jabatan, tetapi oleh kejujuran dalam hal-hal kecil.

Jika lembaga pendidikan tinggi saja tidak mampu menegakkan etika publik di ruangnya sendiri, bagaimana mungkin ia dapat mengajarkannya kepada masyarakat?

Sudah saatnya kampus kembali kepada prinsip dasar birokrasi dan akademik:
bahwa setiap simbol negara adalah amanah, dan setiap rupiah publik adalah tanggung jawab moral. Dan mungkin, di atas selembar surat berkop resmi itulah, wajah sejati integritas akademik sedang berkaca. Mari kita semua menggunakan hati buat merenung dan membuka mata untuk bercermin besar agar wajah dan fisik kita terlihat nyata !!!

0/Post a Comment/Comments