Fenomena Pahlawan Kesiangan: Ketika Penjilat Menjelma Pembela Rakyat


Beberapa waktu terakhir, muncul kembali sejumlah sosok yang tiba-tiba bersuara lantang mengkritik penguasa. Mereka menuduh pihak lain sebagai penjilat dan pengkhianat rakyat. Padahal, di masa lalu, justru merekalah yang pernah berada paling dekat dengan kekuasaan - menikmati fasilitas, diam seribu bahasa ketika rakyat menjerit, bahkan turut menutup-nutupi berbagai praktik curang dan korup.

Fenomena ini seolah menjadi ironi politik dan sosial di negeri ini: ketika mereka yang dulu bungkam, kini tampil bak “pahlawan kesiangan” yang mendadak mengibarkan bendera kebenaran.

Sebagian dari mereka barangkali lupa, bahwa ketika banyak aktivis dan masyarakat berani bersuara menentang kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, mereka justru memilih diam, bahkan mengejek perjuangan itu.
Ada yang memutarbalikkan fakta, ada pula yang sibuk memoles citra penguasa lama melalui narasi-narasi manis di media sosial.

Kritik terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat miskin, dugaan penyalahgunaan bantuan sosial, hingga kasus lingkungan seperti pencemaran udara dan ledakan sumur minyak - semuanya nyaris tidak pernah mereka tanggapi.

Padahal, kasus-kasus tersebut nyata di depan mata masyarakat.

Kini, setelah kekuasaan berganti, sebagian dari mereka justru paling lantang menuduh orang lain sebagai penjilat dan pengkhianat. Ironisnya, sikap baru mereka muncul bukan karena kesadaran moral, tetapi lebih karena “kelaparan politik”- kehilangan akses dan sumber keuntungan yang dulu mereka nikmati.

Dalam dinamika politik Indonesia, munculnya “pahlawan kesiangan” bukan hal baru. Mereka biasanya aktif ketika angin politik berubah arah.
Ketika berada di lingkar kekuasaan, mereka menjadi pembela paling setia; ketika tersingkir, mereka mendadak menjadi oposisi keras yang menggugat semua hal yang dulu mereka bela.

Sikap seperti ini bukan bentuk perjuangan, melainkan transformasi kepentingan. Loyalitas bukan lagi pada nilai, tetapi pada siapa yang memberi keuntungan.

Dan rakyat, seperti biasa, hanya dijadikan alat narasi: dikutip namanya, digunakan penderitaannya, lalu ditinggalkan kembali setelah drama politik usai.

Kritik sosial tetap penting, bahkan wajib, untuk menjaga jalannya pemerintahan yang bersih.

Namun kritik seharusnya lahir dari kejujuran moral dan kepedulian pada nasib rakyat, bukan dari amarah karena kehilangan kekuasaan.

Masyarakat berhak menilai siapa yang konsisten berjuang, dan siapa yang hanya bersuara ketika perut kosong.

Karena itu, penting bagi publik untuk lebih cerdas membedakan mana kritik yang tulus, dan mana yang sekadar topeng untuk kepentingan pribadi.

Tidak semua yang bersuara keras berarti berpihak pada rakyat—sebagian hanya sedang mencari panggung dan sumber baru untuk bertahan hidup secara politis.

Kita hidup di masa ketika kebenaran sering dikaburkan oleh kepentingan, dan kepedulian mudah disamarkan oleh pencitraan.

Para “pahlawan kesiangan” itu tidak hanya ada di lingkaran politik, tetapi juga di masyarakat, di media, bahkan di dunia maya - siapa pun bisa tergelincir menjadi penjilat baru tanpa sadar.

Maka, yang paling penting hari ini bukan sekadar menunjuk siapa yang salah, tapi memastikan diri kita tidak ikut menjadi bagian dari siklus penjilatan yang sama: diam ketika berkuasa, beringas ketika lapar, dan lupa pada kepentingan rakyat sesungguhnya.

Perubahan tidak akan lahir dari mereka yang hanya bersuara ketika lapar, tapi dari mereka yang tetap jujur meski tidak diuntungkan.

Karena membela rakyat bukan soal posisi di dalam atau di luar kekuasaan - tetapi tentang keberanian menjaga nurani, kapan pun dan di mana pun.(*)


Oleh : [EQ]

0/Post a Comment/Comments