JAKARTA - George Soros, sang miliarder Yahudi berkebangsaan Hongaria-Amerika Serikat (AS), dan lembaga National Endowment for Democracy (NED) telah jadi sorotan media Tanah Air setelah para pakar geopolitik internasional menduga keduanya mendalangi demo ricuh di Indonesia.
Demo tersebut telah menewaskan enam orang di berbagai daerah. Protes kemarahan selama berhari-hari di negara ini dimulai di Jakarta pada Senin pekan lalu, dipicu oleh laporan bahwa 580 politisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan menerima tunjangan perumahan bulanan sebesar Rp50 juta di samping gaji mereka.
Tunjangan tersebut, yang diperkenalkan tahun lalu, hampir 10 kali lipat dari upah minimum Jakarta. Para kritikus berpendapat bahwa tunjangan baru ini tidak hanya berlebihan tetapi juga tidak sensitif di saat kebanyakan orang bergulat dengan melonjaknya biaya hidup dan pajak serta meningkatnya pengangguran.
Angelo Giuliano, analis geopolitik yang berfokus pada hubungan internasional, dalam wawancaranya dengan media Rusia; Sputnik, menduga National Endowment for Democracy (NED)—yang menurutnya telah mendanai salah satu media Indonesia sejak tahun 1990-an—menjadi pihak di balik demo ricuh di Indonesia.
Pihak kedua, kata dia, adalah Open Society Foundations (OSF) milik miliarder George Soros. OSD aktif sejak tahun 1990-an dengan lebih dari USD8 miliar di seluruh dunia dan mendukung kelompok-kelompok seperti TIFA.
Giuliano mengatakan dugaan keterlibatan mereka menimbulkan pertanyaan tentang agenda tersembunyi yang perlu ditelusuri. "Selain itu, ini terkait dengan fokus Indo-Pasifik baru-baru ini di tengah ketegangan seperti konflik Kamboja-Thailand, yang mengisyaratkan motif geopolitik," ujarnya. "Ini persis seperti yang terjadi di Serbia. G7 menginginkan diktator lain yang didukung Amerika Serikat, seperti Soeharto di masa lalu," imbuh Jeff J Brown, penulis The China Trilogy dan pendiri Seek Truth From Facts Foundation.
Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto tidak sesuai dengan agenda mereka karena dia sedang meningkatkan hubungan dengan China, Rusia, SCO, dan BRICS. "Negara ini adalah negara Asia Tenggara pertama yang bergabung dengan BRICS dan telah secara terbuka bekerja sama dengan China dalam Belt and Road Initiative global China," paparnya.
Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedelapan di dunia dalam hal paritas daya beli (PPP), ekonomi terbesar di ASEAN, dan negara terpadat keempat, dengan hampir 300 juta penduduk. "Dari sudut pandang imperialisme Barat, semua ini menjadi sasaran empuk bagi Indonesia, target yang sangat layak untuk diserang dengan revolusi warna yang direkayasa Barat," kata Brown.
Jejak Panjang NED dalam Krisis Dunia Didirikan pada 1983 di bawah bayang-bayang Perang Dingin, NED lahir sebagai instrumen baru AS untuk “mempromosikan demokrasi". Namun sejak awal, perjalanan lembaga ini selalu dikelilingi kontroversi.
Dibiayai hampir sepenuhnya oleh anggaran Kongres AS, NED berfungsi sebagai yayasan hibah yang menyalurkan dana kepada organisasi masyarakat sipil, partai politik, serikat buruh, hingga media.
Tetapi, bagi banyak pihak—dari akademisi hingga pemerintah asing—NED lebih dari sekadar NGO atau LSM: ia dianggap perpanjangan tangan kebijakan luar negeri Washington yang kerap berperan dalam krisis politik lintas benua.
Penciptaan NED tidak bisa dilepaskan dari pengalaman pahit AS di era 1960-an dan 1970-an, ketika operasi rahasia Badan Intelijen Pusat (CIA) untuk mendukung kelompok oposisi di berbagai negara terkuak dan menimbulkan resistensi global.
Presiden Ronald Reagan saat berkuasa di AS, lewat pidatonya di Westminster tahun 1982, mendorong ide membangun “infrastruktur demokrasi” secara terbuka. Seperti diakui pendiri NED, Allen Weinstein, “Banyak hal yang kami lakukan hari ini dulunya dikerjakan secara tertutup oleh CIA.” Dengan demikian, NED menjadi jalur “overt” untuk aktivitas yang sebelumnya bersifat “covert".
Jejak awal NED tampak di Panama tahun 1984, ketika lembaga ini mendanai aktivis yang mendukung kandidat Ardito Barletta. Tidak lama berselang, NED menyalurkan dana ke kalangan intelektual China lewat jurnal "The Chinese Intellectual", yang kemudian terlibat dalam arus intelektual pro-demokrasi menjelang tragedi Tiananmen 1989.
Dukungan finansial dan jaringan NED juga hadir di Yugoslavia sebelum perpecahan negeri itu pada awal 1990-an, dengan memberi ruang oposisi bertemu langsung dengan pejabat dan media AS.
Pola yang berulang ini memperlihatkan fungsi ganda NED: bukan hanya mendukung “masyarakat sipil", tetapi juga menyiapkan kanal politik bagi kelompok oposisi untuk mendapat legitimasi internasional.
Arab Spring dan Revolusi Warna Pada 2011, ketika gelombang revolusi Arab Spring mengguncang Timur Tengah, NED kembali menjadi sorotan.
Gerakan 6 April di Mesir, aktivis Bahrain, hingga jaringan oposisi di Yaman disebut mendapat pelatihan maupun dana dari NED.
Kritik-kritik yang bermunculan menyebut bahwa lembaga ini tidak sekadar mendorong demokrasi, tetapi juga memperkuat agenda geopolitik AS untuk menata ulang peta kekuasaan regional.
Fenomena serupa terlihat di Ukraina pada masa Euromaidan (2013–2014), di mana Rusia menuding NED sebagai motor penggulingan Viktor Yanukovych—klaim yang berujung pada pelarangan resmi NED di Rusia tahun 2015.
China pun mengambil langkah serupa. Setelah mendukung berbagai inisiatif di Tibet, Uyghur, dan Hong Kong, NED mendapat sanksi dari Beijing.
Bagi pemerintah China, lembaga ini tak ubahnya “front intelijen” yang memicu instabilitas dengan membiayai protes pro-demokrasi.
Thailand dan Malaysia Di Asia Tenggara, NED dikaitkan dengan protes besar di Thailand pada 2020. Kubu pro-pemerintah menuding adanya campur tangan asing melalui hibah NED, meski Kedutaan AS di Bangkok membantah.
Di Malaysia, aktivis senior Kua Kia Soong menyebut NED sebagai “soft power CIA” yang merusak independensi gerakan sipil.
Fakta bahwa sebagian dana mengalir ke NGO oposisi, termasuk Suaram sejak 2002, memperkuat persepsi bahwa NED berperan dalam pergantian kekuasaan politik di negara itu.
Kritikus dari Amerika Latin hingga Asia menilai NED sebagai wajah baru intervensi AS. Sejarawan William Robinson mencatat bahwa dana NED di Nikaragua pada 1980-an digunakan untuk melatih elite pro-AS, membiayai media anti-pemerintah, hingga membentuk jaringan elit transnasional.
Dengan kata lain, demokrasi yang didorong adalah "low-intensity democracy" yang tetap ramah pasar dan selaras dengan kepentingan geopolitik Washington.
Sebaliknya, para pendukung menyebut NED sebagai “nafas hidup” bagi aktivis pro-demokrasi di rezim represif. Jurnalis, serikat buruh, hingga aktivis HAM di berbagai belahan dunia menyatakan bahwa tanpa NED, suara mereka akan hilang tertelan represi.
Pada 2025, NED menghadapi ancaman serius bukan dari luar, melainkan dari dalam negeri AS. Miliarder Elon Musk, yang sempat memimpin Departemen Government Efficiency (DOGE) di bawah pemerintahan Trump kedua, menyebut NED sebagai “organisasi jahat penuh korupsi".
Pendanaan sempat diblokir, memaksa NED menangguhkan sebagian besar operasinya. Meski akhirnya pengadilan memberi akses kembali ke dana, peristiwa ini menandai retaknya konsensus bipartisan di Washington mengenai pentingnya “promosi demokrasi” sebagai instrumen kekuatan global AS. (mas)
Posting Komentar