Masukan dari akademisi, aktivis, dan tokoh masyarakat yang punya visi jarang diakomodasi. Yang lebih diutamakan adalah kelompok sendiri-saudara, kerabat, teman dekat, atau lingkaran politik tertentu-yang loyal, meski seringkali minim kompetensi.
Pola seperti ini menciptakan politik kekerabatan dan kroniisme yang merusak. Rakyat tidak mendapatkan kebijakan yang berbasis ilmu dan data, melainkan keputusan yang penuh kepentingan pribadi dan kelompok.
Lebih parah lagi, kepemimpinan seperti ini justru menumbuhkan politik pecah belah-membagi masyarakat ke dalam kubu-kubu untuk melemahkan kekuatan bersama.
Akibatnya:
1. Potensi SDM Aceh yang cerdas dan berpengalaman terbuang.
2. Kebijakan daerah kehilangan arah strategis.
3. Persatuan masyarakat Aceh melemah karena dipecah berdasarkan kepentingan kelompok sempit.
Jika pola ini terus dibiarkan, Aceh akan sulit bangkit, karena masa depan daerah dibangun bukan oleh kompetensi, tetapi oleh kedekatan personal dan permainan politik.[]
Posting Komentar