Oleh Muhammad Subhan
LANGIT tampak biasa saja. Tetapi di kepala seseorang, badai sedang mengamuk.
Ada suara yang tidak terdengar oleh siapa pun. Ada bayangan yang hanya bisa dilihat olehnya. Ada ketakutan yang tidak bisa dijelaskan. Ia tidak berpura-pura. Ia sungguh merasa diawasi.
Skizofrenia nama penyakit itu. Ia bukan kutukan. Bukan pula hukuman atas dosa masa lalu. Ia adalah luka yang tak berdarah di ruang jiwa yang dalam.
Setiap tanggal 24 Mei, dunia sejenak berhenti untuk menyimak jerit yang tak terdengar itu. Hari Kesadaran Skizofrenia. Hari untuk mengingat bahwa ada orang-orang yang terjebak dalam pikiran mereka sendiri.
Tidak semua luka tampak di kulit. Tidak semua penderitaan bisa diukur oleh suhu tubuh.
Pikiran adalah rumah. Bayangkan jika rumah itu retak. Temboknya roboh. Atapnya bocor. Dan di dalamnya, seseorang tetap berusaha tinggal.
Skizofrenia datang seperti embun yang tak disadari. Perlahan, sunyi, lalu menjadi beku.
Ia bukan sekadar halusinasi. Ia bukan sekadar delusi. Ia adalah kekacauan antara yang nyata dan semu.
Anak-anak muda, dengan wajah segar, bisa menjadi korbannya. Di balik senyum pagi, ada malam-malam yang kacau. Di balik unggahan Instagram, Facebook, dan TikTok, ada bisikan yang terus mengganggu.
Media sosial bukan penyebabnya. Tetapi kesepian yang mengendap diam-diam, bisa menjadi pemicunya.
Berapa banyak remaja yang tidur dengan kegelisahan? Pun berapa banyak orang dewasa dengan perasaan yang sama? Berapa banyak yang bangun dan merasa dunia tak benar?
Skizofrenia menumpang di kepala, lalu membajak pikiran. Membuat seseorang melihat apa yang tak ada, memercayai yang mustahil, menolak yang nyata.
Gejalanya datang seperti pelancong: tidak diundang, tetapi menetap. Ia mengubah wajah seseorang, menghapus senyum, mengganti cahaya mata dengan kabut.
Ia membawa dua rupa: positif dan negatif. Yang positif adalah kegaduhan. Yang negatif adalah sunyi panjang.
Kadang penderita berteriak tanpa sebab. Kadang mereka tak bersuara, tak bergerak, tak merespons bahkan ketika dunia runtuh.
Skizofrenia bukan soal gila atau waras. Ia bukan hitam dan putih. Ia adalah wilayah abu-abu yang membingungkan.
Penyebabnya pun tak satu. Ada luka genetik. Ada kimia otak yang tak seimbang. Ada trauma lahir yang tersembunyi. Ada tekanan sosial yang meremukkan.
Kadang, hanya karena seseorang tidak diajak bicara, tidak dipeluk, tidak dihargai.
Betapa tipis batas antara waras dan tidak. Antara dunia dalam dan dunia luar.
Tapi manusia adalah makhluk yang mudah menghakimi. Kita menatap dengan curiga. Menjauh. Mengejek. Padahal kita seharusnya merangkul. Tidak pula memukul.
Pengobatannya panjang. Melibatkan obat-obatan. Terapi. Percakapan yang pelan dan jujur. Mencurahkan kasih dan sayang.
Kadang, yang dibutuhkan hanya satu kalimat hangat, yang menyelamatkan seseorang dari jurang gelap pikirannya sendiri.
Menghadapi mereka bukan berarti menjadi dokter. Tetapi menjadi manusia yang utuh. Penuh empati. Tidak menghakimi.
Kadang mereka hanya butuh duduk di sebelah kita. Duduk diam. Tanpa dihakimi, tanpa dinasihati, hanya didengarkan.
Ada kekuatan dalam keheningan yang penuh penerimaan.
Penting juga menjaga diri sendiri. Karena mendampingi bukan berarti ikut tenggelam.
Kenali tanda-tanda awal. Ajak bicara. Berikan ruang aman. Dan jangan pernah remehkan keluhan kecil.
Di balik setiap bisikan, bisa ada derita yang besar.
Jangan biarkan media sosial menjadi cermin tunggal harga diri. Jangan biarkan ponsel menggantikan pelukan.
Skizofrenia tidak datang tiba-tiba. Ia bertunas dari luka yang diabaikan, kesedihan yang disimpan, harapan yang pupus.
Kita perlu dunia yang lebih lembut. Yang mengerti bahwa tak semua luka terlihat. Tak semua tangisan terdengar.
Jagalah kesehatan mental seperti kita menjaga tubuh. Bersihkan pikiran dari bising dunia. Beristirahatlah dari notifikasi dan tekanan.
Beranilah bicara jika merasa terganggu. Beranilah mendengarkan jika orang lain bicara.
Skizofrenia adalah pintu ke dunia yang tak kita pahami. Tapi bukan berarti harus kita tutup rapat. Justru di situlah tugas kita: membuka pintu, menyalakan lentera, dan menjadi saksi yang lembut bagi jiwa yang terbelah.
Dan, benarlah, kesehatan mental bukan hanya tentang menghindari penyakit. Ia adalah tentang menjaga kemanusiaan. Tentang memastikan bahwa setiap orang, bahkan yang jiwanya retak, tetap merasa layak untuk dicintai. []
Baca juga di https://majalahelipsis.id/skizofrenia/
Posting Komentar