KABEREH NEWS | JAKARTA -- Dihubungi terpisah Tim kaberehnews.com mewawancarai Latin, S.E sebagai profesional Praktisi Asuransi menanggapi wacana Pemerintah mewajibkan program asuransi Third Party Liability (TPL) terkait kecelakaan lalulintas, yang akan diberlakukan pada 2025, bahwa OJK terkesan menjadi inisiator utama dalam memuluskan "program asuransi wajib bagi kendaraan motor-mobil, yang dimungkinkan bisa meluas ke asuransi rumah". Asuransi TPL ini memberikan ganti rugi kepada pihak ketiga yang mengalami kerugian akibat kecelakaan yang melibatkan kendaraan bermotor yang diasuransikan. Seberapa urgensinya proyek besar itu berpotensi akan menambah beban bagi rakyat, bukankah seharusnya itu menjadi tanggung jawab negara. Dimana negara hadir untuk melindungi kepentingan rakyat dari kerugian yang tidak pasti, akan menimpa siapa saja dimasa mendatang. Jakarta, Rabu 31/07/2024
Menurut Latin, berdasarkan pengalamannya di industri asuransi selama lebih dari 20 tahun, Pemerintah sebaiknya benahi dulu infrastruktur industri asuransi dalam negeri yang sudah terlanjur carut-marut. Beberapa Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) atau perusahaan asuransi belum menunaikan kewajibannya sesuai perjanjian polis asuransi untuk menyelesaikan kewajiban utang polis jatuh tempo kepada konsumen asuransi, dengan alasan perusahaan dilanda seret likuiditas. Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebagai regulator pengawasan sektor jasa keuangan non-bank atau dikenal IKNB memiliki andil besar, punya tanggung jawab untuk menertibkan PUJK yang nakal, yang menghindari kewajiban pembayaran tuntutan klaim asuransi pesertanya. Pemerintah seharusnya bisa menjamin terpenuhinya layanan pembayaran klaim asuransi bagi nasabah asuransi, untuk melindungi dari kerugian, akibat perilaku PUJK atau perusahaan asuransi yang nakal.
Lanjut praktisi asuransi itu, mengeluhkan saat ini peserta asuransi atau nasabah sulit sekali sekali mendapatkan tempat keadilan atas tuntutan haknya sebagai konsumen asuransi. Tidak adanya jaminan dari Pemerintah untuk perlindungan konsumen asuransi, ketika meminta haknya sebagai nasabah. Kondisi itu terjadi hampir di semua perusahaan asuransi Indonesia baik milik swasta, swasta nasional, perusahaan joint Ventura dan perusahaan BUMN.
Praktisi Asuransi itu mengatakan, bahwa saat ini psikologi konsumen asuransi Indonesia masih trauma terhadap perusahaan asuransi. Sebagai akibat dari buruknya pelayanan klaim asuransi yang tidak profesional, bertele-tele terkesan ribet, mengada-ada dan tidak jarang terjadi intimidasi terhadap konsumen asuransi dalam meminta haknya. Disamping itu perusahaan asuransi juga sedang diterpa issue besar gagal bayar polis asuransi bancassurance milik negara (BUMN) pada "Jiwasraya" yang sengaja dihembuskan ke publik oleh Direktur Utama BUMN Oktober 2018 silam. Pengumuman gagal bayar polis asuransi pada entitas BUMN diduga hanya akal-akalan Direksi perseroan untuk menghindari kewajiban utang polis asuransi negara yang sudah jatuh tempo,ujarnya.
Latin, mengatakan sebenarnya wajib asuransi sudah sejak lama ada, sebelum dibentuknya UU-P2SK Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan Penguatan Sektor Keuangan. Diketahui adanya pungutan wajib asuransi itu bisa kita cek pada Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) masing-masing pemilik motor-mobil yang dikelola oleh Asuransi BUMN Jasa Raharja.Setiap kendaraan berbeda khusus roda dua sebesar Rp 35,000 dan roda empat sebesar Rp 143,000 dinamakan Santunan Wajib Dana Kecelakaan Lalulintas Jalan atau disingkat SWDKLLJ.
Diketahui sebelumnya total jumlah kendaraan yang aktif, ada saat ini sudah tembus diangka 153.400.392 unit kendaraan, berdasarkan data Korlantas Polri periode 9 Febuari 2023. Jadi potensi penerimaan negara bukan pajak dalam bentuk income premi asuransi sangat besar masuk ke Pemerintah melalui Asuransi BUMN Jasa Raharja. Mungkin tembus diangka puluhan triliunan rupiah dana premi asuransi asuransi wajib yang terkumpul, tutupnya.(Redaksi1)
Posting Komentar