PENDIDIKAN SINGKAT “DI KAMPUS RAMADHAN

Saudaraku, Se-iman, Se-bangsa dan Se-tanah Air !!!
JUDUL tulisan ini memang sangat sederhana, meskipun demikian, menurut saya pribadi, selayaknya menjadi renungan bagi kita semua yang kini sedang menempuh “pendidikan singkat” di “Universitas atau Kampus Ramadhan”, agar kita lulus ujian dan mendapatkan gelar “taqwa” dengan predikat Lulusan “muttaqin”. Mudah-mudahan kita dapat mengikuti “Sidang Terbuka” untuk dapat di-Wisuda pada Hari Idul Fitri, Tanggal 1 Syawal 1445-H. Marilah kita tingkatkan frekuensi waktu belajar dan beramal serta ibadah-ibadah kita lainnya agar nilai, prestasi dan kesuksesan menyertainya.

Ramadhan adalah bulan yang sangat penting dalam kalender Islam. Bulan ini merupakan bulan di mana umat Islam di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa. Selain itu, Ramadhan juga dikenal sebagai bulan pendidikan Islam karena banyak pelajaran yang dapat dipetik dari menjalankan ibadah puasa.

Salah satu pelajaran yang dapat dipetik dari menjalankan ibadah puasa adalah tentang menahan diri dari keinginan duniawi. Dengan menjalankan ibadah puasa, umat Islam diajarkan untuk menahan diri dari makan, minum, dan nafsu seksual dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Hal ini mengajarkan umat Islam untuk memiliki kontrol diri yang baik dan menjaga diri dari hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Tiada terasa, kini kita telah berada di malam-malam menuju pertengahan Bulan Ramadhan. Se-akan-akan kita masih akan menyambutnya, padahal kini Ramadhan akan terus beranjak pergi untuk meninggalkan kita. Tidak ada yang pernah tahu apakah kita akan menjumpai lagi Ramadhan tahun depan. Semoga Allah Yang Maha Mencintai, selalu mempertemukan Ramadhan untuk kita tiap tahunnya. Allahumma Aamin Ya Rabbal ‘Alamin.

Mengingat tujuan akhir dari kewajiban puasa Ramadhan adalah derajat taqwa (Qur’an, Al-baqarah, ayat 183). Kita berdo’a kepada Allah swt, agar kita dipanjangkan dan diberkati umurnya untuk bisa bertemu lagi dengan ramadhan tahun depan dan tahun-tahun berikutnya. Amin3x Yaa Allah, Yaa Mujibassailin.

Maka, menjelang detik-detik perginya tamu agung nan suci ini, adalah layak kita mempertanyakan kembali dengan serius kepada setiap pribadi kita, “sudahkah kita meraih predikat atau gelar taqwa yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, atau minimal sudah melekat-kah pada diri dan masyarakat kita sebahagian dari karakteristik orang-orang yang bertaqwa (muttaqiin)?”

Sejatinya, yang bisa memutuskan seseorang sudah meraih gelar taqwa atau belum memang hanyalah Allah Swt. Namun begitu, beberapa indikator bisa kita jadikan pegangan untuk menilai pribadi kita pasca Ramadhan nanti. Artinya, meskipun yang menilai seseorang sudah meraih predikat taqwa atau belum hanya Allah, namun kita telah diberikan petunjuk untuk menilai diri kita sendiri masing-masing. Bukankah kita telah puluhan atau berkali-kali kita menyelesaikan puasa ramadhan selama kita menjalani hidup ini?

Apakah karakteristik yang Allah sebutkan dalam Al-qur’an melekat erat pada diri pribadi orang-orang yang meraih derajat muttaqin sudah melekat pada diri kita?. Dan tulisan ini hanya mencoba mengajak kita semua untuk bertafakkur dan bermuhasabah tentang sejauh mana kualitas ibadah puasa Ramadhan yang saban tahun kita kerjakan. Bukan untuk menilai sesorang belum bertaqwa atau sudah meraih derajat mulia tersebut.

Para ulama mendefinisikan taqwa ini dengan ungkapan: “Menaati Allah dan tidak maksiat, selalu berdzikir dan tidak lupa, senantiasa bersyukur dan tidak kufur”. Dari definisi ini kita bisa berkesimpulan, bahwa taqwa adalah kalimat yang singkat namun kaya makna, mencakup seluruh tuntunan yang dibawa Islam; akidah, ibadah, muamalah dan akhlak.

Dan taqwa bukanlah kalimat yang hanya sekedar diucapkan, atau hanya sekedar klaim tanpa bukti. Tapi taqwa adalah perbuatan dalam rangka ketaatan kepada Allah dan tidak melakukan maksiat kepada-Nya.

Pada prinsipnya, puasa Ramadhan akan selalui ditandai dengan transformasi dalam diri pelakunya serta masyarakat sekitarnya dengan mengalirnya amal shaleh yang tiada putus-putusnya serta berbagai perbuatan terpuji lainnya. Bila setelah Ramadhan seseorang selalu berbuat baik, serta bisa memberikan sumbangsih untuk perubahan masyarakat di sekitarnya sampai ia menghadap Allah Swt, maka jelas ia akan tergolong kelompok manusia yang meraih gelar takwa dan pahala yang akan kelak ia dapatkan adalah surge-Nya Allah.  

Dan sebaliknya, jika setelah melaksanakan ibadah Ramadhan seseorang masih seperti sebelum melaksanakan Ramadhan, maka bisa dipastikan Ramadhannya tidak berkah dan ia gagal meraih predikat taqwa atau dia telah gagal menempuh pendidikan singkat di “Kampus Ramadhan”. Na’uzubillahi Min Zhalik.

Namun begitu, kita memang tidak bisa menilai apakah seseorang itu benar-benar mencapai gelar taqwa atau tidak. Itu memang hak Allah untuk menilainya. Akan tetapi, kita masih bisa mengenali ciri-ciri orang yang meraih gelar taqwa antara lain adalah; terjadinya perubahan pribadi ke arah yang positif. Perubahan ini mencakup hubungan vertikal (dengan Allah) dan hubungan horizontal (dengan lingkungan sekitar), juga mencakup kualitas ibadah jasmani dan rohani.

Sebagian dari dampak ibadah puasa Ramadhan bagi pelakunya adalah terjadinya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji. Indikator diraihnya gelar taqwa pasca Ramadhan adalah jika pelakunya patuh melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, baik semasa Ramadhan maupun nanti pasca Ramadhan. Ada banyak kriteria orang yang bertaqwa yang disebutkan dalam Al-quran maupun sunnah.

Di antara kriteria tersebut adalah, beriman, senantiasa mendirikan shalat, menunaikan zakat atau menafkahkan sebagian harta, selalu menepati janji, sabar, selalu berdo’a kepada Allah, bertindak benar, tetap taat dan mengingat Allah, selalu beristighfar (meminta ampun) dan taubat kepada Allah dari semua dosanya. Di samping itu, menahan amarah, suka memaafkan, selalu berbuat baik, tidak melakukan perbuatan keji, selalu shalat tahajjud, amalan-amalan tersebut selalu dilakukan oleh yang bertaqwa.

Kriteria berikutnya adalah ia akan memiliki sifat dan sikap terpuji seperti sabar, syukur, tawakkal, tasamuh (toleransi), pemaaf, tawadlu’ dan sebagainya. Ia juga akan malu kepada Allah Swt untuk melakukan perbuatan yang dilarangnya. Bersemangat dan sungguh-sungguh dalam menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu yang Islami.

Kemudian ia juga akan senantiasa bekerja keras dan tekun untuk memenuhi keperluan hidup dirinya, keluarganya dan dalam rangka membantu orang lain serta berusaha untuk tidak membebani dan menyulitkan orang lain. Jika sifat-sifat seperti itu telah kita miliki, Insya Allah, kita akan menjadi “Alumni Ramadhan” yang sukses. Sepantasnya kita akan diberikan gelar taqwa oleh Allah swt dan Idul Fitri merupakan “Hari Wisuda” bagi insan yang lulus dalam ujian pendidikan singkat di kampus Ramadhan. Subhanallah …

Indikator taqwa yang lain adalah ia akan konsekuen meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Swt, terutama dosa-dosa besar, seperti syirik, riba, judi, zina, khamar, korupsi, membunuh orang, bunuh diri, bertengkar, menyakiti orang lain, khurafat, bid’ah dan sebagainya.

Dia juga akan gemar melakukan ibadah wajib, sunat dan amal shalih lainnya serta berusaha meninggalkan perbuatan yang makruh dan tidak bermanfaat. Aktif berkiprah dalam memperjuangkan, menda’wahkan Islam dan istiqamah serta sungguh-sungguh dalam melaksanakan amar ma’ruf dengan cara yang ma’ruf, melaksanakan nahi munkar tidak dengan cara munkar.

Artinya ia akan memiliki komitmen yang total untuk mentaati Allah Swt dan tunduk kepada-Nya, bukan saja selama puasa Ramadhan, melainkan kapan saja dan di mana saja ia berada. Puasa Ramadhan tidak akan bermakna jika pasca Ramadhan seseorang tidak menyadari identitas kehambaanya kepada Allah Swt. Tuntunan syetan kembali diagungkan. Merebut harta haram melalui kerja nyata (Kolusi Korupsi, dan Nepotisme) dan kemaksiatan menjadi kebiasaannya sehari-hari. Na’uzubillahi Min Zalik.

Selain itu, orang-orang yang bertaqwa akan cepat melakukan taubat apabila terlanjur melakukan kesalahan dan dosa, tidak membiasakan diri proaktif dengan perbuatan dosa, tidak mempertontonkan dosa dan tidak betah dalam setiap aktivitas berdosa. Sungguh-sungguh memanfaatkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk melakukan berbagai transformasi sosial serta menolong orang lain dan menegakkan “Izzul Islam wal Muslimin” atau kejayaan Islam dan kaum Muslimin.

Untuk meraih predikat taqwa diperlukan proses yang berkelanjutan, tidak hanya memadai dengan puasa ramadhan. Taqwa dibentuk melalui proses pembinaan yang kontinue atau berkelanjutan menuju ke tingkat ketaqwaan yang tinggi yaitu taqwa khawwash al-khawwash.

Secara rinci, pembentukan karakter taqwa, selain puasa Ramadhan juga dapat direalisasikan melalui upaya-upaya relegius sebagai berikut : seperti, membaca Al-quran, mengkaji dan merenungi maknanya (khususnya yang dengan ancaman Allah bagi orang-orang yang berbuat maksiat), serta melaksanakan isi kandungannya (tidak memadai semata hanya belajar dan mengajarinya). Kemudian puasa, baik puasa wajib (ramadhan) maupun yang sunat.

Pada dasarnya, setiap amalan wajib dan sunnah bisa membawa pelakunya kepada taqwa, termasuk di dalamnya berpuasa di bulan Ramadhan. Disamping itu, taqwa juga bisa terbentuk dengan mendengar nasehat orang lain, mengajak orang lain kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, bekerjasama dengan yang lain dalam kebajikan hingga tercipta kondisi lingkungan yang mendukung nilai-nilai ketaqwaan.

Mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Saw dan menghindari perkara yang tidak beliau ajarkan juga salah satu persyaratan meraih predikat taqwa. Kesemua ini harus saling mendukung dan melengkapi dalam rangka perjuangan kita meraih gelar takwa. Jadi, meraih taqwa tidak memadai hanya dengan puasa ramadhan, apalagi jka selepas ramadhan nanti watak melanggar kita kembali beraksi dan pertontonkan dengan rasa bangga.

Mengutip apa yang ditulis Agustianto, salah seorang sahabat saya, kalau pasca ramadhan, etos kerja dan produktifitas menurun, kedisiplinan tetap dilanggar, atau perilaku tetap menyimpang, barangkali puasa yang kita lakukan tidak didasarkan perenungan mendalam yang optimistik (ihtisaban) tentang makna filosofis di balik ritual ibadah puasa. Atau mungkin mengabaikan dimensi historis pelaksanaan puasa di kalangan sahabat Rasul yang tetap mempunyai etos tinggi dan sangat produktif. 

Hal ini terlihat dari kemenangan - kemenangan besar yang mereka raih pada bulan ramadhan, seperti perang Badar, penaklukkan Mekkah, dan sebagainya. Kalau pasca ramadhan, kejujuran semakin tipis atau sirna, pungli, kolusi dan korupsi tetap menjadi kebiasaan, barangkali puasa yang kita lakukan tidak didasari iman yang benar, tetapi mungkin kita berpuasa karena mengikuti tradisi atau hanya sekedar perbuatan rutin tanpa kesan. Astargfirulllahal ‘Adhiem.

Dan gelar taqwa itu mustahil untuk diperoleh dan hanya ilusi. Namun jika sebaliknya, pasca Ramadhan semua sifat orang-orang yang bertaqwa yang disebutkan dalam Al-qur’an sudah menjadi bagian dari hidup kita, maka beruntunglah kita di dunia dan di akhirat kelak. Amiin3x, Yaa Rabbal Alamin. Wallahu A’lam bishshawab.(*)

Oleh :
T.M. Jamil, Assoc. Prof. Dr. M.Si
(Akademisi – Ilmuwan Sosial, pada USK, Banda Aceh)

Editor : Ayahdidien 

0/Post a Comment/Comments