Fenomena Anies Nasdem Baswedan



"Nasdem mencuri start menunggangi kontroversi Anies Baswedan. Satu puzle telah terbuka"

Penulis : Dahono Prasetyo

Kaberehnews.online | Apa yang dialami Ani Baswedan sebagai Gubernur DKI, hampir sama dengan yang dialami Jokowi sebagai Presiden. Bahwa setiap pemimpin punya cara tersendiri untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya. Hujatan kepada Gubernur DKI sama dengan yang setiap hari diterima Presiden Jokowi jika kita mau mencermati.

Persoalan kebijakan yang dianggap kontroversi senantiasa mengundang protes bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan. Tetapi tidak bagi sebagian kalangan yang diuntungkan oleh kebijakan itu.

Strategi manajemen pengelolaan daerah yang diterapkan Anis sebagai upaya mengamankan kekuasaan tetap terjaga hingga masa berakhirnya jabatan. Begitu pula Jokowi dengan skala yang lebih besar berupa negara. Apa yang membedakan keduanya hingga menarik untuk diulas?

Mustahil rasanya menjatuhkan Anis melalui mekanisme Legislatif di DPRD. Sang Gubernur sudah selesai dengan skema masif mengamankan diri dari ancaman mosi tidak percaya anggota dewan. Mereka yang secara tidak langsung menjadi bagian dari perancang sekaligus pengelola kebijakan beserta APBDnya.

Anis cukup cerdik dengan membalikkan logika perihal skema anggaran. Bukan Pemda melalui SKPD yang mengajukan Rancangan APBD kepada anggota Dewan, tetapi sebaliknya. Para anggota dewan anggarannya mau seperti apa tinggal ajukan melalui SKPD sebagai juru ketiknya.

Hasil ketikan draft rancangan SKPD diajukan sebagai asumsi APBD. Gubernur tinggal tanda tangan dan stampel. Dan yang terjadi pengajuan RAPBD tersebut di ruang sidang Legislatif tinggal seremonial pengesahan saja. RAPBD yang mereka ajukan sendiri, disposisi Gubernur, balik lagi ke meja rapat sidang, ketok palu sah selesai.

Lalu bagaimana dengan eksekusi APBN yang beraroma “mesin partai”?. Di sini kecerdikan Anis berlipat lagi. Dia tidak menyerahkan langsung kepada SKPD selaku “menterinya”, tetapi membentuk kabinet bayangan bernama TGUPP. Anggotanya diambil dari Praktisi Partai Politik diluar anggota Dewan yang terhormat.

Merekalah yang dipercaya merekomendasi proyek proyek Pemda kepadanya, lalu Gubernur tinggal tanda tangan menyetujui. Merekalah para eksekutor dana mengatas namakan APBD. Permainan tehnis anggaran lebih berkutat di wilayah mereka, meringankan resiko beban SKPD yang riskan dengan batasan aturan birokrasi dari pemerintah pusat.

Gubernur, DPRD, TGUPP dan SKPD menjadi satu paket skema manajemen pengelolaan daerah. Jika ada indikasi korupsi dan manipulasi, merekalah yang duduk berjamaah kompak satu shaf. Masing-masing dengan peranannya tanpa kuasa menjatuhkan jika tak ingin jatuh bersamaan.

Jadi jangan harap Gubernur tersandung kasus anggaran, karena dia punya alibi kuat yang sistemik. Borok Anis adalah borok para jamaahnya juga, termasuk anggota dewan pengawal anggaran. Secara tersirat Anis menyatakan : Silahkan kalian berfoya-foya bersama, tapi tolong jaga dan amankan saya hingga masa jabatan berakhir.

Anis Baswedan yang setiap hari panen hujatan dari segala penjuru, namun aman dari jeratan hukum. Gubernur yang mengendalikan mayoritas anggota dewan. Bukan sebaliknya para wakil rakyat yang mengendalikan Gubernurnya. Persoalan sudah bukan siapa mengendalikan siapa, tetapi mari kita atur masyarakat dengan cara kita. Mau terima syukur nggak terima ya syukur.

Pertanyaan selanjutnya, tidak adakah celah untuk menembus lapisan dinding tebal muka tersebut. Nyaris tidak ada kecuali satu. Bikin salah satu Partai Politik di lingkaran setan itu marah kepada Gubernur, maka perseteruan menjadi ajang saling menjatuhkan. Celakanya sistem yang dibuat Anis selalu membuat mereka tersenyum, tidak ada alasan untuk marah. Kecuali PSI, satu partai gurem yang sedang berada di tengah barisan maju gentar membela yang “maha mulia”

PSI yang seharusnya bisa berjuang di luar ruang parlemen bersekutu dengan warga, daripada menempuh jalur demokratis sidang wakil rakyat yang sudah terkunci mata telinga dan mulutnya.

Anis Baswedan dan Jokowi. Sama sama mengamankan dirinya dengan sistem. Sama sama tidak sepi hujatan. Bedanya hanya satu. Sistem itulah yang memungkinkan Anis  dilindungi para elitnya sedangkan Jokowi punya sistem untuk tetap dilindungi oleh rakyatnya untuk segala kelebihan dan kekurangannya.

Ibarat pepatah mengatakan, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Tapi Anis bukanlah tupai, tapi si kancil pencuri mentimun di ladang petani.  Tinggal menunggu waktu kapan para petani benar benar marah karena berkali-kali dibohongi sang kancil. Lalu bukan lagi dikerangkeng tapi buang jauh ke tempat lain yang tak ada mentimun.
Siapa itu para petani? Warga DKI tentunya.(Suluhnusantaranews.com)

0/Post a Comment/Comments