KABEREH NEWS | Pada 6 November 2025, langkah-langkah itu bergema di lorong Pengadilan Tipikor Jakarta—tegas, pelan, namun penuh makna. Ira Puspadewi, mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), berjalan memasuki ruang sidang bukan sebagai penjahat, tetapi sebagai seorang profesional yang merasa dikorbankan oleh sistem yang seharusnya melindunginya.
Tatapannya tegak. Wajahnya tenang. Tapi di balik ketenangan itu, badai besar sedang ia hadapi.
Ia didakwa bersama dua mantan koleganya—Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono—atas dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN), dengan angka fantastis yang dipasang sebagai “kerugian negara”: lebih dari Rp 1 triliun.
Bagi banyak orang, angka itu sudah cukup untuk menghancurkan nama baik. Tetapi bagi Ira, kebenaran jauh lebih besar daripada tuduhan apa pun.
Pleidoi: Ketika Seorang Profesional Melawan Arus
Ketika tiba gilirannya membacakan pleidoi, suasana ruang sidang berubah sunyi. Semua mata tertuju pada perempuan yang selama bertahun-tahun memimpin salah satu BUMN strategis Indonesia itu.
Dengan suara yang mantap, Ira membuka lembaran pembelaan.
Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar seperti perlawanan—bukan untuk menyelamatkan diri sendiri, tetapi untuk menegakkan kebenaran yang menurutnya diinjak-injak.
Ia menegaskan satu hal:
“Saya bukan koruptor. Saya dikriminalisasi.”
Menurut Ira, sejak 13 Februari 2025, ia dan dua koleganya ditahan tanpa pernah diperlihatkan bukti korupsi yang sahih. Bahkan laporan kerugian negara baru dibuat tiga bulan setelah penahanan, bukan oleh lembaga audit resmi, melainkan oleh KPK sendiri.
“Lalu apa dasar menahan saya selama ini?” suaranya bergetar, bukan karena takut—tetapi karena ketidakadilan yang ia rasakan.
Keterangan ahli dari BPK pun memperkuat bahwa akuisisi dilakukan sesuai prosedur. Namun semua itu seolah tak cukup untuk meredam tuduhan besar yang sudah telanjur menggulung dirinya.
Nilai Kapal ‘Disulap’ Jadi Besi Tua
Ira melanjutkan pembelaannya dengan membeberkan hal yang baginya paling tidak masuk akal:
nilai kapal-kapal PT JN dihitung seolah-olah sudah menjadi besi tua kiloan.
Contohnya kapal Royal Nusantara, raksasa laut berbobot 6.000 GT—panjangnya 24 meter lebih besar dari lapangan bola dan masih produktif menghasilkan pendapatan. Kapal dengan nilai Rp121 miliar itu tiba-tiba dihitung hanya Rp12,4 miliar.
“Apakah masuk akal pemilik JN mau menjual saham perusahaan bila kapal-kapalnya dianggap scrap? Kapal itu masih berlayar, masih menghasilkan uang, bukan rongsokan!”
Seketika bisik-bisik terdengar di ruang sidang.
Fakta yang Dibalikkan: Akuisisi yang Menguntungkan Negara
Setelah semua penjelasan itu, Ira menyampaikan poin paling krusial.
Akuisisi PT Jembatan Nusantara membawa ASDP 53 kapal komersial beserta izin operasional bernilai Rp2,09 triliun, tetapi dibeli hanya seharga Rp1,27 triliun.
Perhitungan sederhana saja menunjukkan bahwa negara tidak rugi—bahkan untung besar.
“Kami membeli aset Rp2 triliun dengan harga Rp1,2 triliun. Bagaimana mungkin ini disebut merugikan negara?”
Akuisisi itu, lanjut Ira, bukan sekadar transaksi bisnis.
Itu adalah langkah strategis untuk memastikan layanan penyeberangan di wilayah 3T tetap hidup. Ratusan ribu warga yang menggantungkan hidup pada rute-rute perintis itu bergantung pada stabilitas ASDP.
Namun kenyataan pahitnya: keputusan strategis itu justru menyeretnya ke ruang sidang, di mana ia dituntut 8,5 tahun penjara.
Pertarungan Belum Usai
Di akhir pleidoi, Ira berdiri lebih gagah dari sebelumnya. Bukan karena ia sudah menang, tetapi karena ia telah menyampaikan seluruh kebenaran yang menurutnya selama ini dibungkam.
Ia tak pernah menyangka keputusan bisnis yang ia yakini benar—dan menguntungkan negara—justru menjeratnya sebagai tersangka.
Namun hari itu, di hadapan hakim, jaksa, dan publik, Ira tidak sekadar membacakan pembelaan.
Ia memperjuangkan nama baiknya.
Ia memperjuangkan logika akuntansi dan keadilan.
Ia memperjuangkan harkat profesional BUMN yang menurutnya semakin sering dikriminalisasi.
Dan pertarungan itu… belum selesai.
Vonis yang Menggetarkan Ruang Sidang
Detik itu, seluruh ruangan Pengadilan Tipikor Jakarta seperti menahan napas. Para wartawan memegang erat mikrofon, keluarga terdakwa menunduk sambil berdoa, dan para penasihat hukum menanti dengan wajah tegang. Di tengah keheningan yang seperti membelah udara, Ketua Majelis Hakim, Sunoto, membuka berkas putusan perkara nomor 68/Pid.Sus-TPK/PN.Jkt.Pst.
Suara palu belum diketuk, tetapi kalimat pertamanya sudah cukup untuk membuat ruangan bergetar.
“Seharusnya para terdakwa dijatuhkan vonis lepas… ontslag van alle recht vervolging.”
Sejenak, waktu seolah berhenti.
Ira menahan napas. Tangannya mengepal, tubuhnya kaku, dan air mata yang sudah lama ia tahan tampak mulai menggenang. Kata-kata itu bagaikan cahaya pertama setelah berbulan-bulan ia berjalan dalam lorong gelap penuh fitnah dan tuduhan.
Bukan Korupsi—Ini Keputusan Bisnis
Hakim Sunoto lalu melanjutkan, dengan nada tegas namun penuh keyakinan.
Ia menegaskan bahwa Kerja Sama Usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) yang dilakukan ASDP pada 2019–2022 bukanlah tindak pidana.
Bukan rekayasa.
Bukan permainan kotor.
Tetapi keputusan bisnis, murni dan apa adanya.
Keputusan yang seharusnya dinilai dengan kacamata profesional, bukan kriminal.
Bukan dibungkus asumsi kerugian negara, apalagi berdasarkan penilaian yang keliru tentang aset berupa kapal-kapal yang dijadikan besi tua sementara masih melaut dan menghasilkan uang.
Sunoto berpendapat perbuatan yang dilakukan oleh Ira dkk merupakan keputusan bisnis yang dilindungi oleh Business Judgement Rule (BJR). Dia menganggap Ira dkk telah beriktikad baik dan berhati-hati tanpa memiliki niat jahat (mens rea) untuk merugikan negara.
Kata dia, menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa dalam kondisi faktual seperti itu akan menimbulkan dampak yang sangat luas bagi dunia usaha di Indonesia, khususnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Direktur akan menjadi sangat takut untuk mengambil keputusan bisnis yang mengandung risiko meskipun keputusan tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan perusahaan, profesional-profesional terbaik akan berpikir berkali-kali untuk menerima posisi pimpinan di BUMN karena khawatir setiap keputusan bisnis yang tidak optimal dapat dikriminalisasi," tutur Sunoto.
"Hal ini pada akhirnya akan merugikan kepentingan nasional karena kepentingan BUMN memerlukan keberanian untuk berorganisasi dan berkembang agar bersaing di tingkat global," sambungnya.
Ira divonis dengan pidana 4 tahun dan 6 bulan penjara serta denda sejumlah Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Sedangkan Yusuf Hadi dan Harry MAC divonis dengan pidana masing-masing 4 tahun penjara dan denda sebesar Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Vonis tersebut jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa KPK yang ingin Ira dihukum dengan pidana 8 tahun dan 6 bulan penjara serta Yusuf Hadi dan Harry MAC dengan pidana penjara masing-masing 8 tahun.
Perkara ini diperiksa dan diadili oleh Ketua Majelis Sunoto dengan hakim anggota Nur Sari Baktiana dan Mardiantos.
Para terdakwa dan jaksa KPK menyatakan pikir-pikir untuk mengambil kemungkinan banding setelah mendengar putusan tersebut.
Apa pendapat kalian tentang kasus ini?
#Irapuspitadewi #dirut #ASDP #dugaankorupsi
Posting Komentar