Selamat Hari Pendidikan Nasional : Hentikan Kebijakan yang Berbasis Proyek



Oleh : TM. Jamil, Dr, Drs, M.Si
Associate Professor, pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh.

KABEREH NEWS | DALAM CATATAN Sejarah Pendidikan Anak Bangsa – Generasi zaman lampau pasti mengalami, satu buku bisa dipakai turun temurun, dari kakak pertama, kedua, hingga si adik paling kecil. Hal yang sama dengan seragam sekolah, jika masih bagus, warnanya masih belum pudar akan menurun dari kakak ke adik. Namun hal semacam itu dipastikan tidak akan ditemukan saat dan zaman ini.

Mustahil buku kakak bisa digunakan adiknya. Bukan karena kertas atau cetakannya rusak, tapi materi pelajarannya sudah berubah. Judul bukunya sudah berganti disesuaikan dengan kurikulum yang nyaris selalu berganti dalam waktu singkat. Sampai muncul anggapan “Beda menteri, beda kurikulum.” Sungguh memprihatinkan...

Foto Penulis : TM. Jamil, Dr, Drs, M.Si
Associate Professor, pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh.

Lho, kok bisa? Ya, memang begitulah kenyataanya. Adagium “Ganti pejabat, ganti kebijakan” sudah lazim di dunia pendidikan Indonesia. Sudah berapa kali pergantian menteri pendidikan, maka itu pula jumlah ganti kebijakan pendidikan. Ganti buku, ganti seragam, dan yang pasti ganti kurikulum. Kebijakan Menteri Pendidikan Kabinet Prabowo, lain lagi... masih sulit ditebat dan arahnya tak jelas. Mari kita cermati juga pendidikan di Aceh. Sudahkah punya fokus tingkat lokal yang jelas? Ataukah hanya berbasis proyek fisik untuk menambah pundi-pundinya? 

Kebijakan semacam itu tentu saja membuat masyarakat bingung sekaligus bertanya-tanya. Ada apa denganmu pendidikan Indonesia? Mengapa bisa begitu? Tidak adakah sebuah pola perencanaan jangka panjang pendidikan Indonesia? Atau bahasa kerennya, apakah Indonesia tidak mempunyai blue print pendidikan? Sebuah pertanyaan "bodoh" namun belum mampu dijawab oleh orang-orang yang mengaku dirinya pintar.

Salah seorang Praktisi pendidikan, Antarina Amir menilai Indonesia belum memiliki role model kepemimpinan yang bisa membuat blue print pendidikan. Itu mengapa di Indonesia berulangkali berganti model pendidikan mengikuti keinginan pejabatnnya. Akibatnya justru mengorbankan para pelaku dunia pendidikan, baik para siswa maupun guru dan orang tua murid.

Para siswa diperlakukan layaknya obyek percobaan. Guru pun harus berulangkali menyesuaikan cara mengajar mengikuti berubahnya kurikulum. Orang tua pun kalangkabut mempersiapkan segala macam penunjang pendidikan, terutama buku. Jadi pendidikan Indonesia ini untuk siapa? Untuk siswa atau pejabatnya. Kurikulum disusun untuk kepentingan siapa? Perbaikan mutu para siswa atau hanya meningkatkan pamor menteri saja?

Guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Tridoyo Kusumastanto mengatakan, tidak adanya blue print pendidikan permanen menyebabkan kurang jelasnya peran pendidikan bagi proses pembangunan bangsa. Pendidikan harus memiliki arah jangka panjang, menengah, dan pendek yang jelas untuk menghadapi percaturan global yang kompetitif.

Bagaimana dengan pendidikan Indonesia saat ini? Sebagian besar lulusan SMA tak tahu harus kemana, sarjana pun bingung mau hendak berbuat apa setelah kuliah. Mungkin itu disebabkan sistem pendidikan yang juga bingung mau kemana. Pendidikan yang tak punya arah.

Pemerintah selalu berkaca pada luar negeri untuk mencari arah pendidikan dalam negeri. Padahal kondisi dan situasi di luar negeri jelas berbeda dengan Indonesia. Mengapa pemerintah tidak mencoba menggali model pendidikan di dalam negeri yang lebih sesuai dengan kondisi, situasi dan kebutuhan dalam negeri.

Sebab yang tahu tentang manusia Indonesia adalah orang Indonesia sendiri. Maka cara mendidik anak Indonesia harus dilakukan dengan cara Indonesia. Bagaimana pula pendapat para pembaca media ini yang mulia?

HENTIKAN BUDAYA DAN SIKAP SOK INGIN MENJADI PELOPOR. Budaya menganggap kebijakan orang lain tak baik dan merasa kebijakan kita sendiri yang hebat harus segera disingkirkan dalam ranah dan kebijakan di bidang pendidikan. Sampai saat ini Indonesia memang belum memiliki blue print pendidikan secara formal.

Pendidikan Indonesia masih bergantung pada konteks dinamika kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi pemerintahan yang berkuasa. Dengan kata lain kurikulum belum dapat dikatakan sebagai blue print pendidikan, sebab sifatnya bersifat elastis yang ditentukan dari situasi dan kondisi politik yang terjadi di Indonesia.

Belum adanya "blue print" pendidikan Indonesia disebabkan karena kebijakan pendidikan yang masih terbelenggu sistem politik. Walaupun sudah ada delapan standar pendidikan, yaitu standar kompetensi lulusan, standar Isi, standar proses, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, dan standar penilaian pendidikan, namun pemerintah masih terkesan kurang komitmennya untuk mengelola sistem pendidikan.

Padahal "blue print" pendidikan bagi suatu negara itu sangat penting. Melalui blue print kita tahu arah pendidikan mau kemana dan tujuan yang ingin dicapai. Tanpa blue print, pendidikan Indonesia bingung, mau ke mana?

Kultur politik juga berpengaruh pada perubahan kurikulum yang sering terjadi. Konsekuensi pergantian kurikulum setiap pergantian pemerintahan adalah proses adaptasi pelaksanaan kurikulum yang dilakukan oleh guru di sekolah. Terkadang terjadi berbagai masalah atau hambatan yang dialami guru. Proses adaptasi bisa menghambat guru untuk mengembangkan potensi keilmuannya dan pedagogiknya. Semoga pengambil kebijakan lebih cerdas, dan jangan berpikir untuk tiap kebijakan hanya untuk proyek tambahan pundi-pundinya.

Dampak perubahan kurikulum bagi peserta didik dapat dilihat secara psikologis dan sosiologis. Secara psikologis siswa harus beradaptasi terhadap pola pembelajaran yang terjadi di kelas. Jika proses adaptasi tidak dilakukan dapat mempengaruhi rasa kepercayaan dirinya dan hilangnya semangat dalam belajar siswa. Hal itu mempengaruhi hasil belajar, baik secara kognitif, psikomotorik, maupun afektif. Sementara secara sosiologis, peserta didik yang tidak bisa mengikuti pola pembelajaran yang ada, ia mengalami kondisi tidak percaya diri untuk berinteraksi dengan teman – temannya.

Kebingungan pendidikan menyebabkan lulusan sekolah di Indonesia tidak mampu bersaing di era global. Namun semata faktor tidak adanya blue print, tetapi ada beberapa faktor lain, seperti kurangnya komitmen pemerintah dalam memperhatikan sarana dan prasana pendidikan.

Tingginya tingkat ketegangan politik di level elite yang kemudian mempengaruhi kebijakan publik, dan masih tingginya tingkat konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Agar lulusan sekolah di Indonesia dapat bersaing di era global diperlukan keberpihakan dan dukungan pemerintah terhadap warga negaranya. Bagaimana mungkin kita bersaing untuk tingkat global, dalam ranah lokal saja pun kita masih kalah...

Agar pendidikan Indonesia menjadi lebih baik diperlukan blue print yang jelas. Selain itu diperlukan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi negara dan bangsa. Sehingga elite tidak memprioritaskan kepentingan politik kelompok atau golongannya saja, tetapi komitmen memikirkan nasib bangsa dan negara ini melalui pendidikan yang berkelanjutan. Kultur politik pendidikan yang “ganti pemerintah, maka ganti kurikulum” harus dihapus.

Pendidikan bukan semata bongkar pasang dalam waktu singkat. Ada konsekuensi besar yang terjadi akibat kultur politik pendidikan seperti itu. Pemerintah juga harus memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk memperdulikan nasib pendidikan Indonesia. Organisasi-organisasi masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan harus benar – benar berperan sebagai pengawas dan kontrol terhadap kebijakan pendidikan pemerintah, dan pelaksanaan pendidikan di berbagai jenjang institusi pendidikan di Indonesia.

MARI KEMBALI ke perjuangan mulia tokoh pendidikan terdahulu. Blue print pendidikan bisa diibaratkan seperti Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di pemerintahan. Jika yang dimaksud adalah itu, sebetulnya sudah ada Rencana Pembangunan Pendidikan Jangka Panjang (RPPJP). Jadi sebetulnya blue print itu sudah ada.

Di era Orde Baru, pembangunan pendidikan lebih fokus kepada pemenuhan akses, salah satunya melalui program SD Inpres. Jika dilihat hanya dari sisi akses kepada pendidikan mungkin sudah tercapai. Kalaupun dianggap blue print pendidikan saat ini belum ada, tapi usaha untuk meningkatkan akses pendidikan sudah ada. Akses pendidikan dasar, tingkat SD sudah bagus. Tapi untuk pendidikan menengah, SMP dan SMU, dan perguruan tinggi aksesnya masih kurang. Terlebih jika berbicara tentang kualitas, masih terlihat kurang baik.

Salah satu yang berperan dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia adalah kurikulum. Perubahan kurikulum paling banyak terjadi di era tahun 2000-an ini. Secara teori tidak ada yang berubah pada kurikulum. Semuanya hanya melihat sisi objektifnya. Jadi secara prinsip sebetulnya tidak pernah ada perubahan kurikulum. 

Persoalannya adalah pergantian isi kurikulum tidak disesuaikan dengan kemampuan para guru. Mau ganti sepuluh kali jika para guru siap dan mampu melaksanakannya maka kurikulum tidak akan jadi masalah. Penyebabnya karena para guru tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan dan perubahan kurikulum.

Tentu ini bukan kesalahan para guru. Pasalnya dari awal para guru memang tidak disiapkan untuk menghadapi perubahan itu. Pada kurikulum yang baru, ilmu pengetahuan tidak boleh dipilah-pilah atau yang disebut dengan kurikulum tematik. Masalahnya adalah hampir semua Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) masih memilah-milah ilmu pengetahuan. Akibatnya guru pun masih terpilah-pilah sesuai dengan bidang ilmu pengetahuan masing-masing.

Saat ini Indonesia selalu menjadikan luar negeri sebagai role model pendidikan. Tidak model pendidikan yang “injak bumi”. Padahal kita punya Ki Hajar Dewantara yang sudah memberikan fondasi pendidikan Indonesia. Orang banyak pasang poster atau foto Ki Hajar Dewantara tapi mungkin mereka tidak tahu apa dan bagaimana pemikirannya. 

Padahal pendidikan yang pernah diterapkan di Taman Siswa adalah model pendidikan yang tepat untuk Indonesia, tentu saja disesuaikan dengan kondisi saat ini. Inti dari pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang memerdekakan. Ini yang harus terus dan selalu dibahas dan diambil.

Pendidikan yang memerdekakan memberikan perhatian kepada anak dan “membebaskan” anak. Prinsip kemerndekaan itu ada tiga unsur,yaitu tidak terperintahkan, berdiri pada diri sendiri, dan mengatur diri sendiri. Satu unsur saja hilang maka sudah tidak lagi memerdekakan. Jika diringkas tiga unsur itu menjadi sebuah pendidikan otonomi.

Unsur yang menarik adalah anak tidak terperintahkan. Ki Hajar Dewantara mengistilahkan dengan ‘cakap mengatur diri’. Artinya anak tidak boleh mengganggu orang lain. Memang kondisi zaman Ki Hajar Dewantara berbeda dengan saat ini. Tapi semangat agar pendidikan berpusat pada anak harus tetap diterapkan. Sangat disayangkan pemikiran Ki Hajar Dewantara itu tidak pernah diajarkan di LPTK. Literatur tentang pemikiran Ki Hajar Dewantara pun hampir tidak ditemukan di perpustakaan LPTK.

Tapi semua kembali pada pelaksananya, yaitu guru. Bukan gurunya yang salah, tapi cara mendidik gurunya yang kurang tepat. Guru di LPTK atau yang dulu bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), hanya diajarkan “how to”. Seharusnya tidak hanya itu. Mirip seperti tukang masak, yang bukan hanya diajarkan bagaimana memasak tapi juga ada art atau seni untuk memasak. 

Maka kalau ingin membangun pendidikan Indonesia perhatikan juga para pengajarnya. Perhatikan sekolah calon guru. Harus diberikan kesadaran kepada para guru bahwa mereka belum dididik dengan semestinya. Harusnya para guru bisa menuntut negara agar mendidik mereka sebagaimana mestinya. Jadi mereka bisa paham apa dan bagaimana pemikiran Ki Hajar Dewantara yang sesungguhnya. Semoga Postingan ini bermanfaat. Insya Allah.

--------------

Bumi Sultan Iskandar Muda, 02 Mei 2025.

0/Post a Comment/Comments