BAGI MEREKA yang tidak terlalu mengikuti perkembangan dunia politik, sering bertanya kepada saya ; Calon dari parpol apa, dan siapa nanti yang bakal keluar sebagai pemenang pada Pilkada Aceh 2024? Tidak hanya yang berada di daerah, teman-teman dari luar Aceh maupun para mahasiswa kita yang tengah belajar dan warga masyarakat Aceh yang tengah bekerja di luar daerah, banyak yang juga melontarkan pertanyaan serupa. Pertanyaan lebih teknis lagi menyoal apakah apa yang digelontorkan oleh sejumlah lembaga survei atau ramalan timsesnya bisa dijadikan pegangan untuk memprediksi hasil akhir Pilkada Aceh 2024?
Nah, Bagi Saya, Munculnya pertanyaan ini dipicu oleh seringnya mereka menerima kiriman pesan singkat lewat WatshApp dari sejumlah Lembaga Survei. Hasil survei mereka yang dilansir lewat pesan singkat WA menyodorkan tingkat elektabilitas para kandidat Cagub/Cawagub atau Cabub/Cawabup serta Cawalkot/Calon Wakil Walkot maupun partai pengusungnya. Tentunya berikut angka-angka dan penjelasan yang mencoba menjustifikasi angka-angka yang tersuguh secara rasional. Realita dan faktanya itu merupakan salah seorang pegiat survei (tentu pembaca bisa menebak siapa saja mereka) Pilgub dan Pilbup/Pilwalkot yang paling aktif mengirimkan hasil kajiannya pribadinya dan sok ahli sehingga terus mempublikasi lewat Tik Tok, IG, Facebook atau media lainnya.
Angka-angka prediksinya tentang tingkat perolehan suara dari masing-masing kandidat per hari atau minggu saat digelontorkan, hadir sebagai ‘fatwa’ pemilik Survey itu atau ‘dewa’nya Lembaga Survei Pilkada atau Timses yang bertindak sebagai "dukun." Tentu saja kirimannya cukup dan bisa membantu kita untuk ‘berprasangka’ atau turut bermain untuk mengira-ngira siapa yang kelak bakal keluar sebagai pemenang. Akurasinya atau validitasnya? Sangat naif bila terlalu mengandalkan angka-angka prediksi sang ‘Dewa’ atau Timses ini untuk dipegang sebagai angka yang akurat (terjadi) seakan angka itulah yang bakal muncul sebagai hasil akhir pada Pilgub atau Pilbup Aceh 2024. Dari peristiwa fenomenal, Pilkada Aceh 2017 yang lalu, terbukti prediksi sang Dewa meleset jauh dan sangat jauh serta memalukan. Walau di beberapa daerah lain cukup banyak yang akurat, meski tanpa harus ada survey. Menurut saya, cukup rakyat saja yang menilai dan memilih calonnya.
Biasanya ketika di daerah tersebut peristiwa politik Pilkadanya landai-landai saja, prediksi “Dewa Survey” atau Survey pesanan cukup kredibel untuk bisa dijadikan pegangan. Namun, ketika dinamika politik begitu tinggi, dan rakyat semakin cerdas dengan berbagai multi dimensi problematika politik yang mewarnai perhelatan, peristiwa politik yang anomali dan hasil akhir yang mengejutkan sering terjadi. Itulah sebabnya mengapa ketika sejumlah kawan bertanya kepada saya tentang siapa kandidat yang bakal keluar sebagi pemenang pada Pilkada Aceh 2024, Jawaban saya berikan hanya sebatas hitungan hari dan minggu saat pertanyaan dilontarkan. Salah satu pertimbangannya adalah kondisi objektif pasar politik lokal kita yang masih liar, sulit diprediksikan dan selalu berkembang dinamis seiring fluktuasi emosi pasar yang acap kali menyuguhkan sejumlah kejutan di luar logika dan akal sehat bagi yang masih mau berpikir. Biasanya dalam pemahaman saya, hanya orang yang tingkat IQ rendah yang mudah percaya pada berita Hoax dan hasil “survey mainan” atau publikasi para "mafia" yang mengambil kesempatan saat orang sedang berjuang. Justru kelemahan ini selalu dimanfaatkan oleh para “pecundang”. Untuk itu, berhati-hatilah, agar kita semakin cerdas dalam bersikap.
Hal mana berkaitan erat dengan kian menipisnya faktor kesetiaan pemilih kepada partai maupun individu kandidat kepala daerah. Pendekatan dan pola hubungan antara pemilih dengan partai dan individu calon-kandidat yang serba praktis-pragmatis dan jauh dari ikatan rasional-ideologis, membuat fluktuasi minat-simpatik masyarakat terhadap calon partai maupun individu kandidat yang menjadi pilihan, menjadi sangat tergantung pada situasi dan kondisi beberapa hari jelang hari H pilkada nanti. Ramai dan riuh rendahnya dukungan para pemilih kepada seorang calon kepala daerah jauh-jauh hari sebelum hari H di suatu wilayah, misalnya ambil saja desa A, tidak berbanding lurus dengan hasil akhir pada saat penghitungan suara.
Saya masih ingat ketika seorang tokoh partai yang sangat disegani dan dihormati, pada pilkada Aceh yang lalu menjanjikan kepada saya bahwa perolehan suara untuk kandidatnya di desa A pasti akan melejit melampaui perolehan suara dari calon lainnya. Salah satu keyakinannya karena di desa tersebut berbagai bantuan dan fasilitas untuk kegiatan sosial kemasyarakatan telah dia tumpahkan. Camat dan segenap aparat birokrat, Keusyik-pun memberi harapan begitu meyakinkan.
Namun, hasilnya? Menyedihkan dan ternyata di luar dugaan. Masih beruntung keluar sebagai juara ketiga (dari 3 paslon). Kok bisa terjadi? Ya, begitulah adanya permainan politik. Ketika tuntutan normatif mereka pada hari H tidak terealisir, maka seluruh tumpukan jasa dan kebaikan yang tidak berdampak langsung kepada individu pemilih, begitu cepat terlupakan dan hilang tanpa kesan.
Pasalnya, "budaya amplop" jelang hari H sudah menjadi tuntutan dalam kaitan praktik lapangan yang serba praktis-pragmatis. Mau diakui atau tidak, itulah faktanya. Jelang hari H pertanyaan popular yang menggema; kok tak ada amplopnya? Bila sepi tanpa reaksi, mereka pun serempak beralih ke pintu baru (Paslon) yang menyediakan amplop dan tebaran rupiah yang langsung dapat dinikmati dan dirasakan langsung sebagai imbalan ‘partisipasi’ politik mereka. Calon yang dirasa pelit jelang hari H, dipastikan akan lewat oleh calon yang dikenal sebagai calon dermawan jelang hari H, meski itu nanti menjadi pengkhianat bangsa. Apakah contoh peristiwa seperti di atas hanya merupakan sebuah kasus semata? Wallahu ‘Aklam Bisshawab.
Meskipun begitu, Sayangnya harus saya berani katakan peristiwa yang memilukan ini hampir merata terjadi di seluruh penjuru Tanah Air dan daerah di negeri ini. Perilaku menyedihkan ini bukan begitu saja ada dan tiba-tiba muncul menjadi kebiasaan. Para kandidat sendiri saling sikut untuk meraih perolehan suara, melakukan secara intensif pendidikan money politic kepada massa pemilih. Parpol pun di sepanjang lima tahun, absen melakukan pendidikan politik kepada rakyat yang menjadi kewajibannya. Solusinya, Hancurkan dan punahkan budaya “politik uang atau murahan” serta pilih pemimpin yang cerdas dan bijak. Insya Allah Aceh ini akan lebih baik.
Yang dipertontonkan selama ini justru adegan ‘perkelahian’ yang tak karuan. Sehingga massa rakyat pun mengambil sikap; buat apa berkomitmen jauh-jauh hari buat mereka yang tak jelas ini? Mending yang konkret-konkret saja; In God we trust, the rest pay cash. Kepada Tuhan kami percaya, selebihnya bayar dulu dong ... Itulah sebabnya, bagi yang berada di atas angin sekarang ini, jangan lengah dan sombong. Bisa jadi takdir membuat semua bisa berubah dan kalah karena kesalahan cara dan strategi. Maka sungguh sangat sombong dan arogan, jika saat ini sudah ada pihak yang berani memprediksikan hasil pilkada Aceh 2024.
Nasibnya bisa seperti layangan putus bila terlalu tinggi dilambungkan, namun tak pandai membaca dan memainkan ke mana arah angin akan berhembus. Apa lagi bila pemegang tali layangan adalah mereka yang terbiasa hanya memainkan pesawat terbang mini yang dijalankan oleh motor penggerak (remote control). Itu Beda Bro … main layangan ada seninya dan perlu jam terbang untuk lihai mengendalikannya, Maka Camkanlah Wahai bangsa dan rakyatku … Berhentilah untuk menghayal... seakan andalah pemenangnya. Padahal anda sedang bermimpi di siang bolong ...
-----------
Kota Madani, 16 Nopember 2024
Posting Komentar