(Associte Profesor dan Ilmuwan Politik, pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh.)
KETIKA HATI ini merindukanmu, Ya Merindukan Indonesia, Khususnya Aceh yang lebih baik, sepertinya sudah semakin marak tumbuh membesar di hati berjuta rakyat. Di tengah semakin sulitnya kehidupan berjuta rakyat terimbas badai bencana dan kemiskinan, terlalu banyak peristiwa yang memiriskan hati dipertontonkan oleh para pemimpin dan elite di negeri ini. Bantuan sosial ludes di tempat penyimpanan, dan bahkan Dana BRA dikucurkan pun fiktif. Sungguh menyayatkan hati ini ketika itu terjadi.
Penderitaan rakyat yang begitu dahsyat seakan tak pernah terekam oleh indra, benak, dan hati penguasa. Sepertinya mereka telah sampai pada tahapan "mati rasa dan buta empati."
Betapa mengejutkannya jutaan rakyat ketika mendengar berita Menteri Kelautan kita yang baru beberapa bulan dulu menduduki jabatannya, sudah tertangkap OTT KPK. Disusul dengan berita yang lebih dahsyat lagi, Menteri Sosial (masih ingat kan?), yang seharusnya menjadi figur terdepan membantu rakyat mengatasi masalah sosial ekonominya, justru tertangkap OTT, juga oleh para penegak hukum. Penangkapan dilakukan karena melakukan hal yang sangat amoral dan luar biasa memalukan : menyikat dana bantuan sosial ...
Luar biasanya lagi, sesak dada yang dipicu oleh dua berita tentang skandal korupsi para menteri yang sangat memilukan hati belum lagi memudar, rakyat kembali dikejutkan oleh berita tertangkapnya seorang gubernur kepala daerah di wilayah timur Indonesia.
Dan gubernur yang satu ini, bukan gubernur sembarangan atau berstempel gubernur preman, karena beliau bergelar akademis paling terhormat, seorang guru besar, profesor, yang sangat terhormat dan dihormati. Ia diciduk KPK karena terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mereka yang tertangkap tangan OTT KPK dan terindikasi sebagai ‘orangnya’ Pak gubernur.
Ditambah lagi dengan berita memilukan tentang ditangkapnya seorang jaksa cantik yang malah menjadi sahabat seorang buron yang sejak lama menjadi orang paling dicari karena tidak pidana merugikan negara yang ia lakukan. Bonus berita yang menyesakkan dada datang juga dari institusi Kepolisian Republik Indonesia.
Seorang Kapolsek, perempuan cantik, berpangkat Komisaris Polisi (setingkat Mayor AD, AU, AL), dipecat dari jabatannya karena tertangkap bersama belasan anak buahnya yang tengah berpesta sabu. Subhanallah … sungguh ngeriiiii jika hati ini membayangkannya …. Na’uzubillahi Min Zhalik.
Bayangkan, betapa menyedihkannya dan pantaslah bila Ibu Pertiwi menangis tersedu, karena kejadian memilukan seperti catatan di atas, terjadi di saat keterpurukan dan kesulitan sosial ekonomi berjuta rakyat kita yang tengah berjuang antara hidup dan mati melawan gempuran bencana alam, dan kemiskinan yang semakin kasat mata.
Terbuat dari apa hati mereka para pelaku kejahatan dan perilaku biadab ini. Berpenampilan manusia bersih, konon taat beragama dan bercita-cita mulia, namun berperilaku yang 180 derajat terbalik-balik, bangsat. Dan mirisnya lagi ketika membayangkan; ini yang tertangkap! Pastilah masih banyak manusia sejenis yang masih bebas beroperasi karena belum tertangkap (OTT) dan masih "bernasib baik".
Yang juga tak kalah memilukan, walau hanya berlaku bagi mereka yang paham etika dan nilai, adalah maraknya luapan kegembiraan para pendukung anak pejabat tinggi negara yang menang dan tampil sebagai juara dalam lomba rebut jabatan pada Pilkada 2020 yang lalu dan kemenangan Wapres 2024.
Seakan hal yang wajar karena menganggap apa salahnya anak pejabat tinggi negara berpacu lewat Pilkada atau Pilpres meniti karier politiknya? Termasuk anak dan mantu seorang Presiden sekalipun. Toh tidak ada hukum atau undang-undang dan satu pun aturan main yang dilanggar?
Ya, Begitulah argumen yang dibangun untuk meligitimasi tindakan yang dilakukan adalah benar. Di sinilah justru letaknya masalah yang sangat menyedihkan. Padahal secara etika dan moral diinjak. Matanya telah Buta dan tidak bisa membedakan antara masalah hukum dengan masalah etika dan nilai. Sebuah realita maraknya kehidupan zero etika dan nilai. Semoga menjadi renungan bagi insan yang masih memiliki hati yang suci.
Dari sejumlah ilustrasi akan tata nilai dan moral elite dan pemimpin yang amburadul ini, semakin nyata bahwa cita-cita Reformasi telah lama mati. Bahkan lebih jauh lagi, semakin nyata cita-cita Reformasi telah dihianati. Karena tuntutan paling mendasar pada saat perjuangan Reformasi mencapai tahapan puncak adalah menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang bebas perbuatan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dari para pemimpinnya.
Indonesia harus memiliki Clean Government dan Good Governance! Hhmmm… Bagaimana pula sekarang? Sangat memprihatinkan. KKN bukannya diberantas malah digunakan sebagai cara untuk meraih dan mempertahankan jabatan. KKN justru digunakan untuk membangun kekuatan politik pribadi maupun institusi.
Bahkan KKN ditumbuhkan menggiring ke satu sudut di mana tercipta suasana yang saya nilai sebagai kondisi : politik dan moral telah mati! Kematiannya yang dirancang secara sistemik lewat pintu struktural maupun kultural, telah menghadirkan premanisme dan bisnis kekuasaan yang serba transaksional, maupun pengentalan kembali garis dinasti penguasa sebagai gantinya! Singkatnya, Good bye Demokrasi!
Pertanyaan yang memilukan adalah; di mana sekarang para tokoh dan pemimpin gerakan Reformasi yang dulu begitu bertebaran dan bermunculan dengan gagah perkasa menepuk dada tak sudi mewarisi penyakit Orde Baru? Apakah mereka sekarang ini tak nampak dan tak terasa hadir karena telah berjamaah mengkhianati cita-cita perjuangannya sendiri?
Sungguh, saya ingin mendengar apa jawaban mereka akan pertanyaan Ini. Saya sengaja mempertanyakan hal ini, karena saya juga sebagai saksi hidup yang saat itu berada di antara mereka yang menamakan diri sebagai pemimpin Gerakan Reformasi 1998, di daerah ini, Aceh.
Jika pertanyaan ini tak mendapat kejelasan jawaban, dikhawatirkan gelombang gerakan Reformasi jilid dua akan terbangun oleh waktu dan keadaan yang menghidupkan dan menghadirkannya! Pupuk subur yang terbaik untuk tumbuh gerakan ini salah satunya adalah tertumpuknya kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, di satu tangan.
Didorong lagi dengan kondisi semakin menguatnya hegemoni kekuasaan yang dibangun para elite dan yang mempersempit ruang gerak Politik rakyat dan kerakyatan yang semakin tak berdaya. Ditambah lagi dengan kondisi hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas!
Rumusan baku ini dapat kita pelajari lewat saat-saat tumbangnya rezim Orde Baru. Semoga kekhawatiran ini tidak berlanjut dan menjelma jadi kenyataan. Satu-satunya jalan ke luar bagi para pemimpin dan petinggi penyelenggara negara, segeralah banting setir; kembali ke jalan rakyat, bersama rakyat, menyejahterakan rakyat. Bukan lewat pencitraan tapi kenyataan dan langkah nyata yang terbaca. Secara politik, ekonomi, dan sosial-budaya! Semoga bangsa ini semakin cerdas dalam berpikir untuk menata masa depan yang cemerlang. In Sya Allah, Aamiin.
Banda Aceh, 01 Agustus 2024.
Posting Komentar