TERNYATA ADA PERANG SAUDARA, SEPERTI PERANG PANDAWA VS KURAWA, DI SEPAKBOLA KITA

Oleh : Jo Manuel Hutabarat 

NIMBRUNG sedikit soal debat pemain Timnas "Naturalisasi vs Lokal" boleh ya. Soalnya, setelah kemenangan di GBK kemarin, kan isunya dipanasin lagi sama pemain2 Liga 1 termasuk ada nama defender legendaris kita Robby Darwis, yang ramai-ramai nulis kalimat yang sama, mempertanyakan ini sepakbola kita atau bukan?

Yah, meskipun mayoritas publik kita ada di belakang STY dan Pak Erick, tapi saya menyadari bahwa yang "anti program naturalisasi" ini bukan hanya Bung Towel. Anggaplah dia sebagai "duta besar"nya. Di barisan itu juga termasuk ada Anjas Asmara, satu nama besar pesepakbola kita di era 70-an (daripada meyebutnya legenda Timnas, karena faktanya beliau tidak begitu mengesankan di Timnas apalagi sampai menjadi "dongeng superhero" alias Legenda. Namanya besar di masa itu? Ya. Tapi di lingkungan sepakbola Non Timnas). Selain nama sesenior Anjas Asmara, kita juga melihat atau menangkap kesan bahwa beberapa nama besar Timnas dari masa lalu, yang kini aktif sebagai pelatih, juga ada di barisan "Kontra STY". 

Publik suporter Timnas, mungkin 99 persen ada di belakang STY, mendukung penuh program Naturalisasi. Tetapi saya terawang nih, sepertinya hampir seluruh pelaku sepakbola di Liga 1 kita, adalah "Kontra STY". Barisan pemain, manajemen, para pelatih, dan sebagainya. Dan sepertinya, arus penentangan di balik layar ini, turut mempengaruhi Shin Tae Young "menjauhi" bintang-bintang bersinar di Liga 1. Bayangkan, nama sebesar Marc Klok saja, yang tahun-tahun lalu selalu dipanggil ke Timnas, yang nasionalisme keindonesiannya sudah kita akui, dihormati para pemain naturalisasi, dan sangat bersinar bersama Persib Bandung, TAK LAGI diminati oleh STY. Tidak mungkin tidak, ini pasti dampak dari "Perang Dingin" tadi. Mungkin STY telah sampai pada kondisi "yakin banget dalam hati" bahwa para pemain di Liga 1 apalagi yang senior, telah terkontaminasi oleh aliran mazhab "Anti STY" yang meluas di dalam internal Liga 1, hal mana akan membawa potensi hawa perpecahan, minimal hawa "kekurangpercayaan" pada sosok STY ke dalam barisan Timnas. STY tidak ingin Timnas yang saat ini begitu nyaman, penuh kekeluargaan, saling percaya dan mendukung penuh STY, menjadi terusik.

Sekarang, saya akan membahas mengapa kita semua, termasuk kubu yang selama ini "Anti STY/Naturalisasi" yang berkembang luas di barisan Liga 1, seharusnya berdiri satu hati dan satu suara di belakang STY, di belakang Pak Erick Thohir dan PSSI, mendukung program Naturalisasi ini. 

Dampaknya di Dalam Indonesia:
Belum pernah publik Indonesia seeuforia dan segegap gempita ini mendukung Timnas. Sampai-sampai ketika main di luar negeri saja, stadion serasa milik kita. Bukan hanya para lelaki, bahkan kaum emak -ras terkuat di bumi nih- tumpah ruah kini menjadi penyuka sepakbola dalam hal ini menjadi suporter Timnas kita. Dunia saat ini begitu terpukau dengan antusiasme publik Indonesia dalam mendukung Timnas-nya. Kita semua harus mengakui, ini adalah kebangkitan nasional yang TIDAK MAIN-MAIN. Belum tentu terjadi sekali dalam seratus tahun. 

Negara kita ini penuh dengan topik yang "melelahkan perasaan", topik yang merenggangkan rasa kebanggaan kebangsaan kita, sampai-sampai kita sudah terbiasa menyebut negara kita negeri KONOHA, dengan nada putus asa. Ada kasus Vina Cirebon, yang membuat kita semua sangat geram dan malu dengan institusi Polri. Kasus mega Korupsi Tambang Timah 271 Triliun. Carut marut politik sisa Pilpres lalu, proyek ibukota baru IKN yang buat kita sebagai publik awam terlihat sebagai sebuah Proyek Misterius Raksasa yang tidak kita pahami ada apa di belakangnya, kini ada Tapera, dan di tahun-tahun lalu ada Kasus Sambo (Pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat) yang tetap menyisakan banyak misteri tentang adanya semacam "Lembah Mafia" di kalangan jenderal Polri yang kala itu katanya dipimpin oleh Sambo, dan banyak lagi. Semua itu melelahkan hati kita sebagai sebuah bangsa. Menggerus rasa patriotisme dan nasionalisme kita semua. 

Tetapi....di hadapan kita kini berdiri Timnas Sepakbola kita, yang sekalipun betul sindiran kubu "Anti STY" bahwa STY dan Timnas Naturalisasi ini belum meraih tropi apapun, tetapi TELAH BERHASIL secara spektakuler menaikkan kembali jiwa kebangsaan kita, rasa kebanggaan kita pada nama bangsa kita: INDONESIA. Lihatlah, seluruh rakyat kita dari Timur ke Barat turut bergetar ketika lagu "Indonesia Pusaka" berkumandang di GBK, dan pemain-pemain kita berdiri melingkar penuh getaran kebangsaan. Apakah itu bukan sebuah anugerah dari Tuhan atas bangsa kita? Kita butuh "BARANG INI" terus membahana, sebagai obat penyembuh atas rasa geram-kecewa pada negara akibat topik-topik buruk tadi. 

Mohon ini direnungkan kubu yang Anti STY, yang Anti Pak Erick dan Program Naturalisasinya yang terbukti berdampak amat besar. Bangsa kita butuh ini. Bangsa kita sedang sakit. Dan hanya Timnas kita ini yang sekarang terasa sebagai obatnya. Dan kalian ingin menghacurkannya juga? Ada apa dengan kalian? Ngopi dulu, ngopi.

2. Dampaknya di Mata Luar Negeri.
Lihat, kebangkitan gelora sepakbola Indonesia, ditandai dengan seakterjang Timnas kita yang dipimpin STY, telah menjadi perhatian publik dunia. Kita kini menjadi perbincangan utama di seluruh Asia Tenggara. Publik Vietnam, Thailand, Malaysia, dan seluruh ASEAN, membincangkan Timnas Sepakbola kita dengan heboh. Mereka nyinyir? Mereka sinis? Wajar saja. Karena mereka merasa terusik dan terganggu. Mereka kini seperti menemukan, bahwa sepakbola mereka yang selama ini mereka banggakan sebagai Raja Asia Tenggara, kini bagaikan ayam sayur di hadapan Indonesia. Tahukah kalian? Pernyataan JUSTIN HUBNER yang kala itu mengomentari kemenangan kita lawan Vietnam di negara mereka 3-0 dengan pernyataan pendek: "Kemenangan yang terlalu mudah", telah membuat seluruh publik sepakbola Vietnam meradang. STY dan Timnas pimpinannya telah membuat Asia Tenggara guncang. 

Juga di level Asia, sepakbola kita telah menjadi sorotan, dan diakui sebagai "raksasa yang sedang bangun", ketika di Piala Asia U23 lalu sukses menghajar Australia, Jordania, bahkan Korea Selatan. Indonesia kita menjadi "Bintang Paling Disorot" di Turnamen itu, melebihi negara manapun, bahkan melebihi Jepang yang keluar sebagai juara. 

Kapan lagi Indonesia kita menjadi "trending topic" dan membuat geger Asia seperti itu? STY dan Timnas kita telah membuatnya terjadi!

Pertanyaannya, apakah kita tidak menyukai hal itu terjadi? Apakah kita ingin sepakbola kita TETAP dipandang sebelah mata, bahkan oleh negara2 Asia Tenggara?

Kemarin dulu, setiap Timnas kita main lawan Vietnam misalnya, kita semua pasti sudah ketar ketir: Duh, kalah berapa kosong nih ya? Setiap main lawan Thailand: Sudahlah, sudah pasti kita kalah. Bahkan walau sekedar lawan Malaysia, kita pun sudah berdegap-degup, harap-harap cemas Timnas kita bisa membungkam publik Negeri Jiran yang "pandang enteng" itu.

Kini bagaimana? Persis seperti perkataan JUSTIN HUBNER: "Kalian terlalu mudah!" Sudah begitu kita, kan. Gak jantungan lagi kita kan. 
Jangankan lawan para pesaing di Asia Tenggara, sekarang, Timnas kita melawan Jepang atau Korsel sekalipun, jujur deh, di hati kita kini sudah ada rasa percaya diri, bahwa kita BISA MENANG. 

Gimana dong, Bung Towel? Mbah Anjas Asmara? Barisan "sinis-ketus" di Liga 1? Kalian tidak menikmati gairah kebangsaan kita itukah? Apakah kalian masih akan terus mempersoalkan paras Justin Hubner yang terlalu Bule? "Gak ada paras lokal-lokalnya tuh! Lokal dong! Minimal 60 persen dong!" Masih sibuk kalian di situ? Ah dasar rasis lu. Tidakkah kalian tahu bahwa para pemain kita itu adalah keturunan bangsa kita juga? Darah Indonesia mengalir di pembuluh darah mereka. Hei, ngab, mereka keturunan kita, ngab! 

Jangan berpatokan pada parasnya dong. Itu rasis loh. Itu persis alam pikiran Hitler di masa lalu yang bikin acuan: "Yang bentuk wajahnya begini, bentuk tengkorak kepalanya begini, yang warna matanya begini, hanya itu orang Jerman". Yang beda parasnya, diusir, dibantai, dianggap orang asing. Aduh, aduh. Jangan begitu dong, Bung Towel!

Berpatokanlah kepada pancaran nasionalisme mereka. Lihat dan amati, apakah JUSTIN HUBNER bermain dari hatinya untuk Merah Putih? Untuk Garuda? Totalkah dia? Ataukah dia nampak setengah-setengah hati saja? Jika setengah hati saja, seperti yang kita sinyalir ditunjukkan Elkan Baggot, yuk sepakat dengan STY: Jangan panggil ke Timnas! Tapi jika kita merasakan gelora patriotisme di wajah mereka, jika kita melihat mereka "Siap mati di lapangan untuk Indonesia", akuilah, bahwa mereka adalah "orang kita", "anak-anak muda kita", "pahlawan" kita. Tidakkah kita melihat air mata haru TOM HAYE ketika mencetak gol? Bukankah air mata kaum pria hanya bisa keluar ketika dadanya memang sedang bergelora? 

Apa yang kau ragukan lagi Bung Towel? Apa yang membuatmu tidak bisa menerima mereka sebagai anak bangsamu sendiri? 
Ah, jangan-jangan dikau Mbah Anjas Asmara belum pernah meneteskan air mata oleh GELORA untuk Indonesia, seperti TOM HAYE. (*)

0/Post a Comment/Comments