KETIKA PEMERINTAH "BERSELINGKUH" DENGAN KORUPTOR ; MEMAHAMI DANA OTSUS ACEH DAN PAPUA

Oleh :
T.M. Jamil, Dr, Drs, M.Si
Associate Profesor
Akademisi dan Pengamat Politik, USK, Banda Aceh 


PENGAWASAN terhadap dana Otonomi Khusus Pemerintahan Aceh (Sebutan Sesuai dengan UUPA) dan Papua, dinilai sangat lemah. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) membahas dan menegaskan bahwa perlunya pengawasan yang ketat, supervisi dan pendampingan dari pemerintah pusat terhadap implementasi UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, UU Nomor 35 tahun 2008 tentang Otsus di Papua Barat, dan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintah Aceh. 

Pengawasan yang lemah dari implementasi UU Otsus mengakibatkan sejumalah kasus korupsi penyalahgunaan wewenang dan dana Otsus terjadi. Kasus menyedihkan terjadi di Awal Juli 2018 lalu, Gubernur Aceh Nonaktif Irwandi Yusuf terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT), dugaan suap Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA). KPK menyangka pihak swasta menyuap Gubernur Aceh Nonaktif itu terkait dengan izin proyek yang bersumber dari DOKA tahun anggaran 2018. Dalam kasus tersebut, KPK juga telah memeriksa Bupati Bener Meriah, Ahmadi, sekaligus telah menghukumnya.

Korupsi dana otsus yang dilakukan oknum kepala daerah terjadi juga di Papua. Salah satunya yang dilakukan oleh Mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Awal 2018, Barnabas divonis 8 tahun penjara karena terjerat kasus pembangunan Pembakit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Papua. Pembangunan PLTA melibatkan perusahan lokal yaitu PT KPIJ, yang merupakan milik dari Barnabas atau keluarganya. Barnabas terbukti di pengadilan menerima keuntungan sebesar Rp. 300 juta. 

Kasus korupsi juga menjerat Kepala Dinas PU Provinsi Mikael Kambuaya, dalam kasus pembanguan jalan Kemiri-Depapre, Papua. Selain itu korupsi Dana Otsus Papua juga melibatkan kerjasama antara Bupati dan anggota DPR-RI, yaitu Dewi Yasin Limpo dan Bupati Deiyai Irenius Adi. Keduanya terjerat dalam kasus perkara suap usulan penganggaran proyek pembangunan infrastruktur pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua. Dalam rentang 2002 sampai 2017 Pemerintah Pusat telah mengucurkan dana otsus sekitar Rp. 67,1 triliun untuk Papua dan Papua Barat.

Sementara itu dalam rentang waktu 2008 sampai Tahun 2017 berdasarkan data yang saya miliki Pemerintah Pusat telah mengeluarkan dana otsus senilai Rp. 56,67 triliun (Informasi dan data terbaru berkisar antara 80 - 90 Triliyun) untuk pembangunan di Propinsi Aceh. Masya Allah ... Namun, pada praktiknya hingga pertengahan 2018, terjadi penyimpangan dana Otsus Aceh sebesar Rp. 443,8 miliar. Sementara itu data terakhir tahun 2011 lalu menyatakan bahwa penyimpangan dana otsus di Papua mencapai Rp. 281 miliar. Penyimpangan tata kelola dana otsus jadi salah satu faktor pembangunan di tiga daerah itu tidak berjalan dengan baik.

Salah satu yang menjadi contoh adalah kabar kejadian luar biasa penyakit campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat. Ada pendapat mengatakan, sebuah ironis, di tanah yang kaya dan dukungan dana dari pemerintah, tapi kebanyakan warganya hidup dalam kesulitan akses pendidikan dan kesehatan. 

Dana otsus ibarat awan, bisa dilihat, tapi tak bisa dirasakan. Apakah dana otsus tidak bisa dievaluasi dan ditindak lanjuti jika penggunaannya tidak maksimal serta tak tepat sasaran? Apakah pemerintah tersandera agenda politik tertentu ketika akan mengusut pemanfaatan dana otsus untuk rakyat Aceh dan Papua? Nah, bagaimana pula pendapat pembaca Media ini?

Dalam pemahaman saya, pemberantasan korupsi dan upaya mempertahankan NKRI adalah 2 hal terpisah yang nuansanya lain sama sekali. Dalam pemberantasan korupsi, pemerintah Jokowi tidak boleh kompromi, karena disitulah kekuatan Jokowi sampai sekarang yang tidak bisa dan mampu untuk diserang oleh lawan-lawannya. Kesederhanaan gaya hidup dan merakyat, jadi kekuatan beliau. Sampai-sampai banyak pujian atas prestasi dan kesungguhannya untuk membangun Indonesia. Papua dan Aceh merupakan wilayah atau provinsi terlantar dan sungguh menyedihkan.

Selama ini pembangunan disana dianggap penting. Ini justru memperlihatkan kesungguhan pemerintah Jokowi. Sehingga, tidak perlu ragu membersihkan aparat korup disana. Alokasi dana otsus ini justru perlu diawasi dan dikawal pemeritah, jangan sampai bocor. Sungguh berbahaya, jika pemerintah tak tegas dan “bermain mata atau berselingkuh” dengan koruptor. Tidak disangka perjuangan untuk melawan korupsi dan pemberantasannya begitu lama, karena sendi-sendi kelembagaan demokrasi di RI sudah lama rusak baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, sudah tercemar selama ini dan sulit untuk diobati.

Diperlukan waktu untuk melakukan pembenahan, dan generasi baru perlu ditunjang integritas yang selama ini absen. Tidak ada jalan lain dana otsus harus diawasi, dan jangan biarkan Otsus dikorup tikus-tikus itu. Ganyang dan kremus koruptor. Dunia dan rakyat Indonesia akan mendukung penuh aksi memberantas korupsi. Pengawasan otsus memang harus diperkuat, tidak boleh ada kompromi dengan koruptor dalam pengawasannya. Sekarang mungkin masih ada yang berusaha untuk kompromi dengan koruptor. Onward no retreat.

Dengan good governance, NKRI akan utuh dan bertahan, bukan sebaliknya. Lihatlah … 15 tahun lebih telah berjalan dana otonomi khusus di Aceh, namun kesejahteraan rakyat belum juga terlihat titik terang. Berdasarkan kesepakatan MoU Helsinki pada 2005 yang melahirkan Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA Nomor 11 Tahun 2006). Setahun berikutnya, salah satu dari kesepakatan tersebut adalah Aceh akan mendapatkan Dana Otonomi Khusus (DOKA). Selama 20 tahun dengan rincian 2 persen dari dana alokasi umum selama 15 tahun dan sisanya selama 5 tahun sebanyak 1 persen, sejak pertama pemberian dan/atau diterima Pemerintah Aceh.

Dana Otsus pada tahun 2008 sampai 2018 (10 tahun), maka setidaknya aceh sudah mendapatkan Rp. 66,5 triliun, nominal yang sangat besar tersebut sampai saat ini belum sebanding dengan hasil yang didapatkan oleh rakyat Aceh. Bannyak faktor yang mempengaruhi, di antaranya adalah tidak siapnya pemerintah Aceh ketika awal awal Dana Otsus diberikan sehingga dana yang besar tersebut tidak teralokasi secara tepat sasaran, tidak berdasarkan prioritas, dan juga sebagian besar pengeluaran hanya bersifat konsumtif, karena tidak adanya rencana induk untuk pemanfaatan dana tersebut. Kemudian pada 2015 baru terbentuk rencana induk pemanfaatan dana Otsus, artinya sudah berjalan 7 tahun tersebut benar benar tidak ada arah dan tanpa fokus.

Sehingga banyak hal yang bisa terjadi selama 7 tahun berjalannya dana Otsus, mulai dari penyelewengan dana hingga alokasi yang tidak tepat sasaran. Itu semua berdampak pada kesejahteraan Rakyat Aceh yang tidak kunjung membaik. Maka solusi demi solusi harus segera dipikirkan bersama untuk memaksimalkan pemanfaatan dana Otsus di Aceh, termasuk pemerintah pusat harus melakukan evaluasi ketat terhadap dana tersebut. Saatnya, di Pilkada 2024, Aceh butuh pemimpin yang cerdas dan tegas serta bukanlah orang yang sedang bermasalah, agar dapat untuk memajukan Aceh lebih baik dan bermartabat. Sudahkan kita berpikir untuk itu? 

Mengingat 2027 dana otsus tersebut berakhir, dan harapannya pada saat tersebut kesejahteraan Rakyat Aceh lebih baik dari saat ini. Berdasarkan pasal 78 UU Otsus No 21 Tahun 2001, pelaksanaan UU ini dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga setelah UU ini berlaku.

Berdasarkan pasal 78 ini, maka dapat ditegaskan bahwa implementasi dari UU Otsus ini bisa dievaluasi termasuk dana/anggaran Otsus yang tidak tepat sasaran dan tidak maksimal. Namun pertanyaannya, apakah selama ini evaluasi sudah pernah dilakukan oleh pemerintah? Apakah pemerintah sudah transparan memberikan informasi evaluasi Otsus kepada masyarakat Papua yang mayoritas berada di pelosok Papua? Sepertinya pertanyaan ini belum ada orang yang mampu dan berani untuk menjawabnya.

Lalu, pertanyaan penting lainnya, Apakah masyarakat juga dilibatkan dalam evaluasi ini? Pendapat saya pribadi (tentu ini masih bisa untuk diperdebatkan), selama ini yang menikmati Dana Otsus adalah kalangan Birokrat, Politisi, Pebisnis dan Eksekutif dan pihak-pihak tertentu yang punya akses terhadap Dana Otsus yang dimaksud. Yang menjadi tolak ukur adalah banyak pejabat Aceh dan Papua yang hidup mewah, dan ditangkap KPK karena kasus Korupsi.

Sedangkan akses kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat bawah sangat sulit seperti yang terjadi di Kabupaten Asmat beberapa waktu lalu. Tumbuhnya kriminalitas di Papua yang dilakukan oleh Orang Papua, tanah-tanah Adat yang dieksploitasi, hutan yang dibabat habis, penambangan emas liar yang dilakukan tanpa memikirkan Orang asli Papua.

Hal ini menunjukkan bahwa Implementasi Otsus bagi Orang asli Papua dan Aceh itu telah gagal melindungi Hak Asasi orang asli Papua dan Aceh sebagai subyek yang harus dilindungi oleh UU Otsus itu sendiri. Apakah pemerintah daerah tersandera agenda politik dari pihak tertentu? Wallahu 'Aklam.

Bahwa, pemerintah pusat tidak tersandera dengan agenda politik apapun, karena pengelolaan dana telah diberikan sepenuhnya kepada Pemprov Papua dan Pemerintah Aceh dengan sistem pemerintahan yang dikenal disentralisasi, yang mana mengatur bahwa pengelolaan keuangan daerah dikelola sendiri oleh pemerintah provinsi dengan mengacu pada sistem pengelolaan yang efisien, efektif, ekonomis, tertib pada peraturan dan bertanggungjawab dengan melihat azas keadilan untuk masyarakat.  

Ini semua diatur dalam Tap MPR RI/No. XV/MPR/1998, UU Nomor 33 Tahun 2004, PP Nomor 58 Tahun 2005 dan UU Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemerintah Daerah, Pengelolaan Keuangan Daerah dan Azas Disentralisasi Kesimpulannya, persoalan di Aceh dan Papua tidak akan pernah selesai dengan uang yang berlimpah. Persoalan di Papua dan Aceh hanya bisa diselesaikan dengan sebuah hati yang tulus membangun Orang Asli Papua dan Aceh. Solusinya, mari buka mata dan kesempatan buat Orang Asli Papua dan Aceh untuk membangun dirinya dengan kearifan lokalnya tanpa sebuah intervensi dari negara. Mungkinkah? Biarlah waktu dan sejarah anak bangsa ini yang akan mencatatnya !!!


Bumi Sultan Iskandar Muda, 14 Mei 2024.

0/Post a Comment/Comments