pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh.
ANALISIS Tentang Krisis kepemimpinan nasional Indonesia dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan publik pemimpin yang sedang menjabat dan calon pemimpin yang akan dimunculkan dalam pilkada mendatang.
Kebijakan presiden Jokowi dan menteri-menterinya saat ini tidak hanya tidak pro-rakyat, tetapi juga cenderung menimbulkan gejolak di masyarakat. Contohnya RUU HIP, RUU Cipta Lapangan Kerja, UU No. 2 tahun 2020 dan lain-lain. Pertama, Di level kementerian, kebijakan Kemendikbud untuk ‘belajar di rumah’ (dimasa Covid) telah menimbulkan kerepotan bagi banyak pihak khususnya untuk orang tua.
Biaya ekstra untuk kuota dan gadget sebagai sarana belajar, keharusan orang tua mengawasi dan mengajari anak-anaknya hingga beban pelajaran dan tugas yang bertumpuk dan sebagainya. Kedua, pemberian dana POP kepada dua perusahaan dan bukan kepada lembaga pendidikan yang sudah memiliki track record menyelenggarakan pendidikan. Belum lagi di Kementerian KKP dengan kebijakan ekspor benih lobster-nya.
Di masa pandemi yang lalu secara logika seharusnya yang memegang kendali kebijakan kesehatan adalah Kementerian Kesehatan. Namun, Yang terjadi justru pembentukan badan baru di bawah Presiden yaitu Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Itulah fakta yang terlihat oleh kita semua.
Gugus Tugas ini kemudian berganti nama menjadi Satgas Penanganan Covid-19 dan sekarang berada di bawah Kemenko Perekonomian. Lagi-lagi tidak melibatkan Kementerian Kesehatan sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk itu. Kondisi seperti ini, Jelas menunjukkan bahwa Pemerintah memandang pandemi lebih sebagai urusan keuangan negara dan bukan pada urusan kesehatan rakyat. Pemahaman dan kesimpulan itu semakin sulit untuk dibantah.
Krisis kepemimpinan nasional, termasuk kepemimpinan di daerah sepertinya akan terus berlanjut. Di Pilkada November mendatang, sejumlah kandidat pilkada sudah muncul dan kemungkinan akan ditetapkan. Untuk level nasional, Di antaranya adalah anak keponakan dan kerabat dari para politisi, menteri, anak menteri hingga anak kandungnya Presiden. Di sisi lain, ada kemungkinan akan muncul kandidat versus kotak kosong. Begitu juga di tingkat daerah, kader parpol banyak yang tak yakin dan percaya diri. Mereka lebih banyak ingin "melamar" untuk maju bersama orang lain atau Parpol lain. Kondisi seperti menunjukkan bahwa Parpol telah gagal untuk mencetak kadernya sendiri untuk bertarung sebagai kepala daerah. Pada sisi lain, muncul kandidat dari unsur pengusaha, ulama, intelektual dan akademisi yang juga baik dan berkualitas, namun mereka tak punya Parpol dan juga tak punya "kenderaan politik" untuk bisa ikut berkompetisi. Sedangkan yang punya Parpol malah melamar untuk menjadi wakil dari Parpol lain. Mestinya, mereka saling berebut dan tetap percaya diri masing-masing. Entah sampai kapan kondisi politik seperti ini terus berlanjut di negeri ini?
JIKA Kondisi bangsa seperti ini, saatnya warga masyarakat atau Kelompok-kelompok masyarakat untuk menyiapkan sendiri “Calon Pemimpin” Baik di daerah maupun untuk tingkat Nasional. Mulai dari Bupati/Walikota sampai Presiden.
Hhhmmm … Bagaimana pula dengan kita di Aceh?
Di Aceh sendiri, banyak kok orang-orang hebat dan berkualitas, Seperti Akademisi, Ilmuwan, Guru Besar, Ulama, Mantan Kapolda, Mantan Kodam, dan lain-lain dech … Janganlah kita biarkan mereka orang-orang bijak, menghabiskan waktu dan sisa hidupnya tak memberikan manfaat bagi bangsa dan negeri ini. Tapi mereka tak punya cara dan kuasa untuk bisa berkontribusi. Karena mereka tak ada yang butuh dan "melamar".
Artinya, itu pertanda bahwa ketika partai politik di level nasional maupun level daerah “tidak mampu” memunculkan alternatif calon pemimpin lokal yang baru. Partai politik juga terjebak dalam UU Pilkada yaitu ‘yang dapat memajukan calon adalah parpol atau koalisi parpol yang memiliki kursi 20%’ di parlemen daerah. Sungguh menyedihkan nasib bangsa ini. Bangsa yang mengaku dirinya besar, justru terjebak dalam pola pikir yang sempit dan tak cerdas serta tak mendidik.
Kemunculan calon independen lebih banyak pada keinginan pribadi atau kelompok orang yang ingin ikut berkompetisi dalam pilkada atau justru memecah suara, dan bukan dorongan kuat masyarakat yang ‘gerah’ dengan situasi politik dan tidak mau terkotak-kotakkan oleh kepentingan partai politik. Pembangunan dinasti politik semacam ini menghambat rotasi elite politik baru di berbagai level.
Padahal rotasi atau sirkulasi elite politik lokal adalah salah satu syarat bagi terwujudnya iklim demokrasi yang sehat dan estafet kepemimpinan nasional di masa mendatang. Mari kita tunggu dan saksikan sejarah bangsa ini akan mencatatnya. Kita berharap semestinya catatan itu haruslah terbaik dan mendidik, semua itu hanya bangsa ini yang mampu untuk menjawabnya. Apakah mereka ingin membesarkan dan membangun daerah ataukah mereka ingin terus berkuasa dengan memanfaatkan partai, namun kehidupan dan perubahan dalam masyarakat tak pernah terwujud?. Wallahu Aklam Bisshawab.
Kota Madani, 07 Mei 2024.
Posting Komentar