RENUNGAN, PASCA IDULFITRI 1445-H

Oleh : T.M. Jamil, Dr, Drs, M.Si. Associate Profesor (Dosen Pasca Sarjana Pada USK, Banda Aceh)


BAGI MUSLIM yang diterima puasanya karena mampu menundukan hawa nafsu duniawi selama bulan Ramadhan dan mengoptimalkan ibadah dengan penuh keikhlasan, maka Idulfitri adalah hari kemenangan sejati, dimana pada hari ini Allah SWT akan memberikan penghargaan teramat istimewa yang selalu dinanti-nanti oleh siapapun, termasuk para nabi dan orang-orang shaleh, yaitu ridha dan magfirah-Nya, sebagai ganjaran atas amal baik yang telah dilakukannya. Allah SWT juga pernah berjanji, tak satupun kaum muslimin yang berdo’a pada hari raya Idulfitri, kecuali akan dikabulkan.

Pertanyaannya, kira-kira puasa kita diterima apa tidak? Atau yang kita lakukan ini hanya ritual-simbolik, sebatas menahan lapar dan haus, seperti yang pernah disinyalir Nabi Muhamad SAW? Jawabnya, Allahu ‘alam, kita tak tahu sejatinya. Tapi menurut para ulama, ada beberapa indikasi, seseorang dianggap berhasil dalam menjalankan ibadah puasa: ketika kualitas kesalehan individu dan sosialnya meningkat. Ketika jiwanya makin dipenuhi hawa keimanan. Ketika hatinya sanggup berempati dan peka atas penderitaan dan musibah saudaranya di ujung sana. Artinya penghayatan mendalam atas Ramadan akan membawa efek fantastik, individu, maupun sosial.

Penghayatan dan pengamalan yang baik terhadap bulan ini akan mendorong kita untuk kembali kepada fitrah sejati sebagai makhluk sosial, yang selain punya hak, juga punya kewajiban, individu dan sosial. Sudahkan kita merasakannya? Itulah rahasia kenapa selamat hari raya Idulfitri seringkali diakhiri dengan ucapan Minal ‘Âidîn wal Faizîn (Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali pada fitrah sejati manusia dan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat). Selain sebagai doa dan harapan, ucapan ini juga bak pengingat, bahwa puncak prestasi tertinggi bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa paripurna, lahir dan batin, adalah kembali kepada fitrahnya (suci tanpa dosa). Subhanallah … Walhamdulillah …

“Luar biasa, pada hari ini dan beberapa hari yang lalu tidak ada orang yang merasa benar, semua mengaku salah dan tanpa malu untuk meminta maaf. Betapa damainya negeri ini bila ‘ruh’ Idulfitri selalu menjadi marwah dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah maupun di lingkungan pergaulan bahkan dunia pekerjaan dan perkantoran. Mari kita biasakan menjadi orang yang berani mengakui salah, bukan orang yang selalu merasa benar, atau selalu mencari pembenaran atas perilaku kita yang salah agar terkesan kita manusia hebat.” Astargfirullahal ‘Adhim.

Kalimat di atas berseliweran di media sosial selama perayaan Idulfitri 1445-H yang jatuh pada tanggal 10 April 2024 hingga beberapa hari sesudahnya, menyentuh hati para nitizen yang lalu membagi-bagikannya kepada individu lain, saudara, teman, dan grup di dalam sosial media. Tidak ada nama penulisnya yang dikenali sebagai ustadz, motivator, atau pesohor yang membuat pesan tersebut begitu ngepop, tetapi justru menjadi viral hingga akhirnya sampai kepada para pembaca semua.

Pesan moral keagamaan sederhana ini mendapatkan momentum yang sesuai dan tepat sehingga resonansinya begitu menggema dalam hitungan hari. Tanpa harus menjadi penceramah, ustadz, atau tokoh agama, sang pembuat pesan berhasil menyarikan makna Idulfitri yang bagi sebagian orang bisa jadi masih belum dapat memaknainya dengan baik. Pesan yang baik adalah yang dimengerti oleh penerima pesan, disampaikan dengan cara yang efektif, diterima dengan mudah dan dimengerti, tanpa banyak noise yang mengikutinya.

Dari sisi isi, pesannya singkat, jelas, konkrit, langsung, dan mudah dimengerti. Kampanye agama atau religious marketing biasanya ditujukan secara ketat terhadap segmen tertentu di dalam suatu target populasi seperti lingkungan sekolah bercirikan agama, tempat ibadah, atau pengajian dan kemudian menggunakan bauran dakwah untuk mengembangkan strategi-strategi yang khas untuk setiap segmen dengan tujuan mencapai perubahan perilaku yang diharapkan.

Terkait puasa dan Idulfitri, tujuan dari strategi dakwah agama adalah untuk meyakinkan masyarakat bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi lebih baik dan terhindar masalah sosial, budaya, bahkan politik jika kewajiban agama tersebut dijalankan dengan benar. Biasanya pembawa pesan yakni para da’i atau ustadz dinilai paling efektif sebagai orang yang disukai dan dipercaya oleh masyarakat serta memiliki tujuan yang sama dengan jamaah yang menjadi pengikutnya.

Pembawa pesan akan semakin menjadi efektif jika telah terbangun kepercayaan yang kuat, memberikan fakta yang jelas terkait tujuan puasa dan Idulfitri yang dialaminya dan membangun hubungan positif dengan cara menunjukkan kesediaan untuk berani mengaku salah, tidak merasa selalu benar, mendengarkan dengan seksama terhadap kebutuhan moral masyarakat, memberikan arahan terkait kekhawatiran mengenai masalah sosial, budaya, dan politik. Kini pembawa pesan tersebut tidak melulu harus sesosok yang riil dan jelas identitasnya.

Strategi komunikasi yang paling sukses adalah yang dapat memberikan pesan dengan dampak kuat kepada masyarakat, mendapatkan perhatian, dan mengetahui kondisi kebathinan dan alam pikiran masyarakat yang merupakan elemen emosional paling penting dan mengarahkannya kepada tindakan.

Sebuah pesan dapat membangkitkan emosi, memberikan perhatian kepada masalah yang dihadapi masyarakat, dan memotivasi mereka untuk mengubah perilaku menjadi orang yang berani mengaku salah, bukan orang yang selalu merasa benar atau hebat. Strategi komunikasi yang didesain untuk meningkatkan angka partisipasi dalam perilaku shaleh memerlukan pesan yang kuat, sehingga dapat memberikan resonansi kepada masyarakat dengan menyentuh emosi mereka.

Pesan yang menarik yang berkaitan langsung dengan penyakit sosial dan moral masyarakat dan kemudian mengubah perilaku menjadi satu keshalehan akan membangkitkan motivasi masyarakat untuk bertindak dibandingkan dengan ceramah-ceramah yang membosankan. Agar suatu pesan dapat efektif diterima target program, baik pesan dan cara menyampaikan pesan merupakan aspek yang sangat penting.

Penggunaan argumentasi doktrinal, monoton, dan menceramahi saja tidak akan cukup. Komunikasi dakwah digunakan untuk menginformasikan, mengedukasi dan mengajak masyarakat membangun perilaku yang baik yang membawa manfaat dalam meningkatkan kemuliaan sebagai sebuah bangsa.

Dakwah secara spesifik bertujuan untuk komunikasi persuasif dan merupakan alat yang digunakan untuk memastikan masyarakat memahami mengenai pesan moral agama yang paling dalam, mempercayai keuntungan yang akan diperoleh jika mengamalkannya, dan memegang komitmen untuk menjalankannya.

Perkembangan teknologi telah membuka ruang dan kesempatan yang jauh lebih luas untuk membawa pesan keagamaan, seperti puasa dan Idulfitri yang baru saja dijalani, untuk memperbaiki kualitas diri mencapai ketaqwaan, sekaligus membenahi kondisi sosial, budaya, dan politik bangsa.

Pesan yang mengawali tulisan ini mewakili semua kecerdasan dalam menangkap makna puasa dan Idulfitri, menyampaikannya secara elegan, membangun kesadaran, mengajak untuk mengubah perilaku secara individu dan pada akhirnya secara kolektif membangun Indonesia menjadi bangsa yang beradab. “Mari kita biasakan menjadi orang yang berani mengakui salah, bukan orang yang selalu merasa benar atau merasa paling hebat.” In Sya Allah, Teriring salam kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW dan do’a tulus kehadhirat-Nya, semoga kita semua menjadi hamba-Nya yang santun, istiqamah, beradab dan rendah hati. Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamin. 


Kota Juang, 13 April 2024

0/Post a Comment/Comments