DALAM POLITIK, ‘BAIK ATAU BURUK’ HANYA SOAL KELOMPOK DAN PERKAWANAN

Oleh : Assoc. Prof. Dr. T.M. Jamil, M.Si (Pengamat Politik,
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.)


Lazimkah politik mengandalkan orang baik, ketika realitas menunjukkan orang baik di politik itu sulit dicari. “Politik baik” adalah oxymoron, karena persepsi atas politik umumnya adalah aktivitas manusia untuk meraih kekuasaan, dan untuk itu kerap kali menggunakan dan menghalalkan segala cara. Apakah orang baik bisa tetap baik ketika ia berpolitik dan berkuasa? Atau, perlukah konsep “orang baik” dalam realitas politik praktis, dan apakah ada gunanya? Sepertinya tidak perlu dech...

Karena kebaikan adalah kualitas personal individu, sementara politik lebih ke soal policy atau urusan publik. Kebaikan seorang politisi bukan diukur dari aksi-aksi personal yang layak mendapat pujian seseorang atau sekelompok orang, melainkan bagaimana kampanye, policy, dan keputusannya sebagai politisi berdampak baik bagi mayoritas publik, dan bagi negerinya. Pada level publik, kebaikan dan ketidak-baikan seringkali menjadi kabur.

Satu policy bisa baik menurut kelompok tertentu, tapi tidak baik menurut kelompok yang lain. Misalnya kontroversi menyangkut revisi UU-KPK. Politisi, baik di legislatif maupun di eksekutif, bulat satu suara mengesahkan revisi secara kilat, karena diduga itu menguntungkan mereka. Policy dan keputusan revisi itu menjadi kontroversi, publik terbelah antara yang setuju dan tidak.

Apakah policy revisi UU KPK itu baik, berbasis pada itikad baik, dan diputuskan oleh politisi-politisi baik? Banyak contoh lain, baik dan tidak baik bukan perkara definitif (hitam-putih atau benar-salah) yang bisa diterima publik secara bulat dalam politik. Kebaikan yang mudah dipahami dalam konteks etika atau moral, dan juga pada level karakter individu, menjadi agak rumit jika masuk wilayah politik.

Rumit karena erat terkait dengan persepsi, opini, atau penilaian publik. Dan jika menyangkut publik, maka opini atau persepsi bersifat beragam, bernuansa. Setiap individu bisa berbeda persepsinya. Soal Orde Baru (Orba), misalnya. Post factum, kini umumnya publik menilai merupakan era pemerintahan yang buruk.

Namun, pada masa kejayaannya, Orde Baru dinilai baik, karena berhasil menjaga stabilitas, menegakkan keamanan, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menggerakkan pembangunan yang berdampak pada kesejahteraan rakyat. Meskipun dinilai negatif, ada sebagian kelompok masyarakat, juga politisi, yang kini menganggap era Orba masih “lebih baik” dibanding era “reformasi” ini yang perilaku oknum politisi sangat menjijikkan. Kepemimpinan Soeharto dinilai lebih jelas, tegas, dan terasa. Itu sebabnya sebagian ada yang memunculkan sentimen “Rindu Orba”, dengan slogan: “enak zaman-ku toh?”

Sinyalemen “Rindu Orba” itu belakangan bukan sekadar lamunan atau guyonan sekelompok orang, namun mulai menggelinding menjadi manuver gerakan politik. Safari politik para politisi, terutama para Capres ke berbagai pimpinan parpol, dengan agenda, antara lain, amandemen UUD 45 (atau mengembalikan ke konsep awal?), apakah itu manuver politik untuk kebaikan atau justeru membahayakan? Dan gerakan kembali ke UUD 45 juga menjadi agenda sebagian kelompok masyarakat madani.

Contoh lain, banyak masyarakat ‘trauma” dengan Orba, dan menganggapnya sebagai ‘rezim jahat’. Sehingga orang-orang atau politisi yangndulu, berafiliasi dengan Orba dinilai bukanlah orang baik. Problematiknya, politisi terafiliasi Orba itu kini berserak di sejumlah parpol. Aneh bukan?

Mereka bermutasi, mereplikasi diri, dan kemudian saling berkongsi-berkoalisi. Betapa sulitnya, kita memahami perilaku politisi di negeri ini. Proses pemilihan presiden 2014 dan 2019, telah membelah publik dan politisi menjadi dua kubu : pro-Jokowi vs pro-Prabowo. Begitu juga Pilpres 2024 ini lebih parah lagi. Bahkan kemesraan di masa lalu kini malah terjadi "permusuhan" atau perceraian.

Mereka berlomba untuk saling (merasa) “unjuk kebaikan” untuk meraup dukungan suara publik pada masa kampanye Pilpres. Sembari merasa kubunya “lebih baik”, mereka mengecam kubu lawan sebagai ancaman yang membahayakan dan tak saling menghormati. Menyedihkan ...

Mas Anies Baswedan, misalnya, ketika menjadi juru kampanye pro-Jokowi pada Pilpres 2014, menyerukan slogan menarik : “orang baik berkumpul dengan orang baik”. Ingin menekankan bahwa kubu Jokowi adalah kumpulan politisi-politisi baik, dan yang tidak baik di kubu lawan. Lalu, saat pilpres 2024, Anies sendiri sebagai Capres.

Berjalannya waktu, Anies kemudian berpisah dengan kubu Jokowi, dan kini menjalani kehidupan dan berjuang sendiri. Dengan demikian, apakah Anies masih meyakini slogannya, sebagai orang baik yang menyeberang ke kubu “orang buruk”, atau dia mulai meragukan slogan yang ia ucapkan? Wallahu ‘Aklam Bisshawab...

Wacana lain muncul, mengangkat sentimen kubu Orba atau anti-Orba, menunjuk bahaya politisi atau pejabat Orba yang bersemayam di koalisi parpol. Wacana ini agak ironis, karena politisi Orba ada di kedua belah kubu. Namun, tentu ada pembenaran: politisi Orbais yang sekubu, kadar ke-Orba-hanya sudah luntur, sudah dicuci dengan bersih. Politisi Orba yang jahat pasti di kubu lawan.

Demikianlah, dalam politik, baik atau buruk kemudian hanya soal perkubuan dan perkawanan politik. Kubu politikku adalah politisi yang baik, dan kubu lawan pasti politisi jahanam. Pemilahan kategoris biner yang jelas, mudah dan gamblang, kalau saja konstelasi politik per-kubu-an itu masih berlanjut. Tetapi oh tetapi, kemudian telah pula terjadi rekonsiliasi pasca Pilpres 2019. Politik perkubuan lebur, sekat-sekat pemilahan hancur.

Tidak ada lagi pro-Jokowi atau pro-Prabowo, politisi baik dan buruk berkumpul membentuk koalisi besar dan tunggal. Wacana kampanye Pilpres tidak lagi relevan : tidak ada lagi sinyalemen politisi baik atau buruk. Lalu Mas Anies Baswedan perlu meralat slogannya, menjadi : “politisi berkumpul, tak penting baik atau buruk”. Orba atau non-Orba, ayo kumpul ketika yang bersangkutan ikut membangun kubu atau kelompok baru.

Mengutip slogan Karl Marx “Workers of the world, unite! You have nothing to lose but your chains”, slogan politisi bisa menirunya menjadi : “Politisi Indonesia, kumpul, Dan jadi makmur” Orba non-Orba bersatu tak bisa dikalahkan. Lagi pula, toh, Orba bisa menjadi singkatan bermakna dua : "Orde Baru atau Orang Baik." Dalam politik sangatlah susah dan sungguh kompleks untuk membedakan keduanya... Entahlah … !!! Tulisan ini hanya untuk mengingatkan para Capres 2024 agar lebih bijak, dan cerdas dalam memahami realitas politik sesungguhnya, sambil menanti pengumuman KPU tentang Kemenangan Capres/Cawapres. Soal menang dan kalah itu biasa. Namun yang penting kemenangan harus dengan cara yang beradab, dan kalah pun dengan cara terhormat. Jangan ada yang merasa terzhalimi.

0/Post a Comment/Comments