BUDAYA "MAKMEUGANG" (MAKAN DAGING BERSAMA) TRADISI DALAM MASYARAKAT ACEH

Oleh : TM. Jamil, Assoc Prof. Dr. Drs. M.Si
(Pengamat Budaya, Akademisi USK, Banda Aceh.)

BIASANYA, Warga Aceh berbelanja daging pada perayaan tradisi Meugang Ramadan 1445 Hijriah di pasar tradisional di sekitar Kota Banda Aceh dan Aceh Besar, 11 Maret 2024. Makmeugang atau Meugang merupakan tradisi turun temurun masyarakat Aceh dengan membeli, mengolah, hingga menyantap daging bersama teman, sahabat dan keluarga. 

 Meugang atau *"makmeugang"* merupakan tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat Aceh. Tradisi ini dilakukan oleh semua masyarakat Aceh, khususnya umat Islam.

Mengutip dari sebuah kajian dan literatur, tradisi Aceh ini berupa pemotongan hewan, biasanya menggunakan lembu, kambing, kerbau, atau sapi. Makmeugang adalah tradisi memasak daging dan menikmatinya bersama keluarga, kerabat, serta yatim piatu.

Makmeugang adalah tradisi menyembelih hewan kurban yang dilaksanakan tiga kali dalam satu tahun, yakni Ramadhan, Idul adha, dan Idul fitri. Jumlah hewan yang dikurban bisa mencapai ratusan.

Selain beberapa hewan di atas, masyarakat Aceh juga menyembelih ayam dan bebek. Tradisi makmeugang di desa dan di kota biasanya memiliki perbedaan.

Tradisi makmeugang di desa berlangsung satu hari sebelum bulan Ramadhan atau hari raya. Sementara di kota, berlangsung dua hari sebelum Ramadhan atau hari raya.

Daging yang disembelih akan dimasak oleh masyarakat di rumah masing-masing. Setelah matang, mereka membawanya ke masjid untuk dinikmati bersama tetangga dan warga yang lain.

Sejarah tradisi makmeugang sebenarnya sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu di Aceh. Tradisi ini dimulai sejak masa Kerajaan Aceh.

Pada 1607-1636-M, Sultan Iskandar Muda memotong hewan dalam jumlah banyak. Daging hewan tersebut kemudian dibagikan secara gratis kepada seluruh rakyatnya.

Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur atas kemakmuran rakyatnya sekaligus sebagai bentuk terima kasih kepada rakyatnya. Setelah Kerajaan Aceh ditaklukan Belanda pada 1873, tradisi ini tidak lagi dilaksanakan oleh raja.

Namun, karena telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, tradisi makmeugang tetap dilaksanakan hingga saat ini dalam kondisi apa pun. Tradisi makmeugang juga dimanfaatkan oleh pahlawan Aceh dalam bergerilya, yakni mengawetkan daging sapi dan kambing untuk perbekalan.

Aceh memang menarik dan memiliki tradisi unik saat menyambut bulan suci Ramadhan seperti saat ini. Warga menyebutnya uroe (hari) "makmeugang" atau meugang. Tradisi ini hanya ada di Tanah Rencong, yang berlangsung secara turun-temurun.

Meugang dilaksanakan tiga kali dalam setahun, yaitu jelang Ramadhan, jelang Idul Fitri, dan jelang Idul Adha. Bagi masyarakat, menyambut Ramadhan atau Lebaran tanpa meugang akan terasa ada yang kurang. Dalam pelaksanaan meugang, seluruh anggota keluarga berkumpul untuk mencicipi makanan yang berbahan daging.

Makmeugang memang bukan suatu kewajiban. Namun sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Aceh untuk membeli daging sapi atau kerbau jelang Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.

Daging itu kemudian dimasak menjadi dua jenis panganan, gulai kari dan rendang. Setelah itu disantap bersama keluarga di atas meja makan atau secara lesehan beralaskan tikar. Suasana ini menjadi momen terindah di hari meugang.

Salah sahabat saya dan kolektor manuskrip kuno Aceh, Tengku Tarmizi Abdul Hamid, mengatakan tradisi makmeugang sudah berlangsung 400 tahun sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Masa itu, jauh hari sebelum meugang, kepala desa sudah menerima surat perintah dari Sultan untuk mendata warga miskin di desanya.

Selanjutnya Sultan melihat semua data yang telah dikumpulkan. Lalu menjelang meugang akan diberikan uang kepada warga untuk membeli daging. Tarmizi menyebutkan, dalam literatur buku “Singa Aceh” dijelaskan bahwa Sultan sangat mencintai rakyatnya baik fakir miskin ataupun kaum dhuafa.

“Orang yang tidak mampu masa itu menjadi tanggung jawab Sultan. Dia kemudian mengeluarkan satu qanun (hukum) yang mengatur tentang pelaksanaan meugang,” ungkap Teungku Tarmizi baru-baru ini saat kami pernah bertemu.

Beriring dengan itu, Qanun pun yang dikeluarkan Sultan kala itu dan diberi nama *Meukuta Alam.* Pada Bab II pasal 47 qanun tersebut disebutkan, Sultan Aceh secara turun temurun memerintahkan *Qadi Mua’zzam Khazanah Balai Silatur Rahmi* yaitu mengambil dirham, kain-kain, kerbau dan sapi dipotong di hari Mad Meugang. Maka dibagi-bagikan daging kepada fakir miskin, dhuafa, orang lansia, dan orang buta.

Pada tiap-tiap satu orang yaitu; daging, uang lima mas dan dapat kain enam hasta. Maka pada sekalian yang tersebut diserahkan kepada geuchiek-nya (kepala desa) masing-masing gampong daerahnya. Sebab sekalian semua mereka tersebut itu hidup melarat lagi tiada mampu membelikannya, maka itulah sebab Sultan Aceh memberi pertolonganya kepada rakyatnya yang selalu dicintai.

“Kenapa diatur begitu, karena Aceh kala itu memiliki kelebihan, kemakmuran, dan hasil alam yang sangat berlimpah. Jadi artinya menjelang bulan puasa, *Sultan ingin rakyatnya tidak susah dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadan,”* sebut Tarmizi dalam sebuah bincang-bincang santai.

“Perayaan ini juga bagian dari kegembiraan menyambut Ramadhan. Bulan suci bagi warga Aceh punya arti tersendiri. Bahkan di hari meugang ini semua orang statusnya sama, baik kaya maupun miskin. Mereka semua membeli daging untuk dimakan bersama keluarga". Begitulah cara dan gaya kepemimpinan Aceh di masa lalu. Nah, bagaimana dengan kepemimpinan Aceh masa kini? Semoga artikel ini menginspirasi kita semua untuk memajukan Aceh di masa depan.

-----------

Bumi Sultan Iskandar Muda, 12 Maret 2024

0/Post a Comment/Comments