Cara Nabi SAW dan Sahabat Berpolitik Bagaimana ?

Ilustrasi

KH.Hafidz Abdurahman 

Bagaimana cara Nabi saw. dan para Sahabat ra. berpolitik?

Jawab:

Politik adalah aktivitas mengurusi urusan umat, sebagaimana dalam Hadis Nabi saw.:

كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَك نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءَ فَيَكْثُرُوْنَ

Dulu Bani Israil telah diurus oleh para nabi. Ketika seorang nabi telah wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tak ada lagi nabi setelahku. Yang akan ada adalah para khalifah (pengganti Nabi saw.) sehingga jumlahnya banyak (HR Muslim).

Para nabi dan rasul adakalanya diutus oleh Allah sebagai nabi dan rasul saja, yang tugasnya hanya menyampaikan risalah. Allah SWT berfirman:

وَمَا عَلَى ٱلرَّسُولِ إِلَّا ٱلۡبَلَٰغُ ٱلۡمُبِينُ ١٨

Tidaklah menjadi kewajiban bagi seorang rasul, kecuali menyampaikan [risalah] dengan jelas (QS al-Ankabut [29]: 18).

Namun, ada juga yang diutus oleh Allah, selain menyampaikan risalah, juga untuk menerapkan dan memerintah kaumnya dengan risalah tersebut. Allah SWT berfirman:

يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ ٢٦

Wahai Dawud, sungguh engkau Kami jadikan sebagai khalifah (penguasa) di bumi. Karena itu putuskanlah hukum di antara manusia dengan adil dan jangan engkau mengikti hawa nafsu… (QS Shad [38]: 26).

Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir tidak hanya ditugaskan oleh Allah menjadi nabi dan rasul. Beliau juga menjadi kepala negara yang diperintahkan untuk menerapkan syariat Islam secara kaaffah untuk seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman:

وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ ٤٩

Hendaknya engkau memerintah mereka dengan apa (wahyu) yang telah Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka… (QS al-Maidah [5]: 49).

Karena itu baik al-Quran maupun Sunnah Nabi saw. tidak hanya berisi akidah, tetapi juga syariah. Syariahnya pun tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Khalik, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya dan sesamanya. Islam mengatur masalah ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan jihad, dalam konteks vertikal. Islam pun mengatur masalah pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, dalam konteks horisontal. Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya, seperti dalam berpakaian, makan, minum dan akhlak.

Hanya saja, ketika Nabi saw. diutus di Makkah, beliau menghadapi realitas masyarakat Jahiliyah, yang pemikiran, perasaan dan sistem yang diterapkan di dalam kehidupannya sangat rendah. Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan mulia syariah Islam tersebut, Nabi saw. melakukan dakwah. Dakwah yang beliau lakukan adalah dakwah pemikiran dan politik.

Dalam konteks ini, Nabi saw. bisa dianggap sebagai sel pertama dakwah pemikiran dan politik ini. Karena beliaulah, orang mendapatkan petunjuk langsung dari Allah tentang Islam, sebagai mabda’. Setelah itu Nabi saw. mengajak orang terdekatnya, yaitu istri beliau tercinta, Ibunda Khadijah binti Khuwailid ra., untuk mengimani dan mengikuti mabda’-nya.1

Berikutnya, Nabi saw. mengajak Sahabat dekatnya, Abu Bakar as-Shiddiq ra., dan saudara sepupunya, ‘Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah ra.2 Dari beberapa sel ini terbentuklah halqah pertama, yang langsung dibina oleh Nabi saw.

Karena Abu Bakar adalah orang yang sangat dikenal dan mempunyai banyak teman, maka Abu Bakar ra. mengajak mereka untuk memeluk Islam. Lalu ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ‘Utsman bin Madh’un, ‘Utsman bin ‘Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu ‘Ubaidah al-Jarrah, Talhah bin ‘Ubaidillah, al-Arqam bin Abi al-Arqam, ‘Ubaidah bin al-Harits, Sa’id bin Zaid, Khutbab bin al-Art, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Ammar bin Yasir, Shuhaib, dan lain-lain masuk Islam.3

Mereka ini kemudian menjadi halqah berikutnya. Terus begitu, hingga menjadi beberapa halqah. Secara intensif mereka ini dibina oleh orang-orang yang ditunjuk oleh Nabi saw. untuk mengajarkan Islam kepada mereka. Mereka pun dikumpulkan oleh Nabi saw. di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam, dan dibina secara kolektif. Di sana mereka melakukan qiyaamul-layl bersama. Dari sejumlah halqah ini terbentuklah kutlah (jamaah dakwah)

Setelah dibina selama tiga tahun secara intensif dan kolektif oleh Nabi saw., juga setelah terbentuk kepribadian Islam mereka, yang tercermin pada ‘aqliyyah dan nafsiyyah mereka, maka Allah memerintahkan mereka untuk melakukan dakwah secara terbuka. Itu setelah pemikiran dan pengaruh dakwah mulai dirasakan oleh masyarakat di Makkah. Saat itu mulai muncul pertanyaan, siapa yang mengemban dakwah ini? Siapa pemimpinnya? Siapa saja anggotanya?

Setelah Hamzah bin Abdul Muthallib dan ‘Umar bin al-Khatthab masuk Islam, Allah memerintahkan Nabi saw. dan para Sahabat untuk mendemonstrasikan kelompok yang mengemban pemikiran baru ini:

فَٱصۡدَعۡ بِمَا تُؤۡمَرُ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٩٤

Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu), dan berpalinglah dari orang yang Musyrik (QS al-Hijr [15]: 94).

Setelah itu Nabi saw. pun melakukan unjuk diri, dengan cara tawaf mengelilingi Ka’bah dalam dua barisan, yang belum pernah dikenal sebelumnya oleh kaum musyrik Arab. Satu barisan dipimpin oleh Hamzah. Satu lagi dipimpin oleh ‘Umar bin al-Khatthab. Ini merupakan fase baru dalam aktivitas pemikiran dan politik yang dilakukan oleh kelompok ini. Aktivitas memperkenalkan kutlah, yang kemudian menjadi partai politik, kepada publik. Aktivitas ini disebut sebagai Tafaa’ul Tamm (interaksi dengan masyarakat secara sempurna).4

Mereka telah menjelma menjadi HizbulLaah, atau Hizb ar-Rasuul. Partai ini merupakan partai ideologis, bukan partai pragmatis, apalagi oportunis. Ini tampak pada 46 surat Makkiyah, yang diturunkan sebelum turunnya QS al-Hijr ayat 94 di atas. Semua berisi pertarungan pemikiran (as-Shiraa’ al-Fikri), perjuangan politik (al-Kifaah as-Siyaasi) dan pertarungan melawan para penguasa Makkah saat itu. Karena itu bisa dipahami bahwa QS al-Hijr ayat 94 ini memerintahkan kepada Nabi saw. untuk mendemontrasikan kutlah, bukan sekadar transisi dakwah, dari fase sembunyi-sembunyi ke fase terang-terangan.

Ketika itu Hizb ar-Rasuul ini benar-benar telah sempurna. Ia menjadi kawah condrodimuko (Butaqah), yang digunakan oleh Nabi saw. dan para Sahabat melebur pemikiran dan perasaan masyarakat Jahiliyah yang rendah, rusak dan kotor saat itu sehingga menjadi pemikiran dan perasaan Islam, yang tinggi, bagus dan bersih. Konsekuensi dari aktivitas peleburan ini, terjadilah gesekan pemikiran dan perasaan yang luar biasa, antara Hizb ini dengan masyarakat. Pasalnya, karena Hizb, sebagai Butaqah itu mengharuskan dua aktivitas secara simultan, yaitu rekrutmen dan pembentukan kesadaran umum di tengah-tengah masyarakat. An-Nadawi, mengutip dari Ibn Hisyam, menyatakan: “Orang-orang pun masuk Islam beramai-ramai, terdiri kaum pria dan wanita, sehingga nama Islam tersebar di Makkah, dan menjadi buah bibir.”5

Adapun aktivitas peleburan (‘amaliyyah shahriyyah) yang dilakukan oleh Hizb di tengah umat ketika itu dilakukan dengan menyatukan berbagai pemikiran, pandangan dan keyakinan yang ada di tengah masyarakat secara kolektif, jika tidak bisa dilakukan secara konsensus. Aktivitas peleburan inilah yang menyebabkan terjadinya gesekan Hizb ini dengan masyarakat meningkat hingga membawa konsekuensi pada terjadinya penganiayaan, penangkapan, aleniasi dan sebagainya. Itulah fase yang dialami oleh Nabi saw. dan para Sahabat, setelah tahun ketiga Kenabian, hingga beliau hijrah ke Madinah.

Hijrah Nabi saw. ke Madinah bukan untuk melarikan diri, tetapi justru untuk menerapkan Islam secara kaaffah dalam seluruh aspek kehidupan dalam institusi negara. Pendirian Negara Islam sebagai metode baku dalam menerapkan Islam secara kaaffah merupakan cita-cita Nabi sejak awal. Ini sebagaimana tampak dalam pidato Nabi saw.:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ الرَّائِدَ لاَ يَكْذِبُ أَهْلَهُ

Wahai sekalian manusia, seorang pemimpin tidak akan pernah membohongi rakyatnya.6

Dalam riwayat lain, Nabi saw. menyatakan:

تَمْلِكُوْنَ بِهَا الْعَرَبَ، وَتَدِيْنُ لَكُمْ بِهاَ الْعَجَمُ، (وفي روايةٍ: يَا عَمُّ إِ نِّيْ أُرِيْدُهُمْ عَلَى كَلِمَةٍ وَاحِدَة يَقُوْلُوْنَهَا، تَدِيْنُ بها الْعَرَبُ وَتُؤَدِّي إِلَيْهِمُ الْعَجَمُ الجْزْيَةَ

Satu kata, yang jika kalian berikan, maka dengan itu kalian akan menguasai bangsa Arab, dan orang non-Arab akan tunduk kepada kalian.” Dalam riwayat lain dinyatakan, “Pamanku, sungguh yang aku inginkan dari mereka adalah satu kata, yang kalau mereka nyatakan, maka dengan itu bangsa Arab akan tunduk, dan orang non-Arab pun akan membayar jizyah kepada mereka.” 7

Dua riwayat yang berbeda di atas jelas mengisyaratkan bahwa Nabi saw. menginginkan kekuasaan, yaitu kekuasaan yang dibangun di atas kalimat Tauhid, akidah Islam. Karena itu ketika Nabi saw. mendapatkan Baiat ‘Aqabah II, maka baiat ini merupakan akad untuk memberikan perlindungan dan kekuasan kepada beliau sehingga beliau bisa menerapkan Islam secara kaaffah di Madinah.

Semuanya ini merupakan aktivitas politik Nabi saw. dan para Sahabat hingga berdiri Negara Islam yang pertama di Madinah. Aktivitas ini berhasil dilakukan oleh Nabi saw. dan para Sahabat dengan mengintegrasikan dua aktivitas, yaitu pemikiran dan politik.

Karena itu Negara Islam yang berdiri di Madinah ini dibangun berdasarkan pemikiran yang diterima dan diyakini oleh rakyatnya. Bukan pemikiran asing yang dipaksakan kepada mereka. Karena itu sebelum Baiat Aqabah II, dan sebelum Nabi saw. hijrah ke Madinah, beliau mengutus Mush’ab bin ‘Umair untuk membina penduduk Yatsrib, sebelum namanya menjadi Madinah, hingga mereka memeluk Islam. Setelah itu, pemikiran dan perasaan mereka pun berubah menjadi pemikiran dan perasaan Islam. Karena itu ketika mereka memberikan baiat kepada Nabi saw., dan menjadikan beliau sebagai penguasa mereka, mereka sadar apa yang harus melakukan lakukan.

Inilah proses politik dan aktivitas politik yang dilakukan Nabi saw. dan para Sahabat sehingga Islam berhasil diterapkan secara kaaffah. Akhirnya, Islam mampu mengubah bangsa Arab yang terbelakang dan tidak mempunyai sejarah menjadi bangsa yang maju, berperadaban dan menorehkan sejarah luar biasa. Persis sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi saw. sebelumnya, bahwa dengan kalimat Tauhid, mereka akhirnya menguasai bangsa Arab dan non-Arab. Semuanya tunduk di bawah kekuasaan mereka. Mereka bangkit menjadi bangsa yang maju dengan perdaban emasnya. Memimpin dunia selama 14 abad, yang memerintah 2/3 dunia wilayah dunia, di tiga benua.

WalLaahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]



Catatan kaki:

1 Q.s. As-Syu’ara’: 214

2 Lihat, Al-‘Allamah Abu al-Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadawi, As-Sirah an-Nabawiyyah, Dar Ibn Katsir, Beirur, Cet. Ke-8, 1441 H/2020 M, h. 183; Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, Juz I/h. 245.

3 Lihat, Al-‘Allamah Abu al-Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadawi, As-Sirah an-Nabawiyyah, Dar Ibn Katsir, Beirur, Cet. Ke-8, 1441 H/2020 M, h. 184; Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, Juz I/h. 250-255.

4 Lihat, Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz I/h. 40; Ibn Hajar al-Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Juz II/h. 512; Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari: Syarah Shahih al-Bukhari, Juz VII/h. 59;

5 Lihat, Al-‘Allamah Abu al-Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadawi, As-Sirah an-Nabawiyyah, Dar Ibn Katsir, Beirur, Cet. Ke-8, 1441 H/2020 M, h. 184; Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, Juz I/h. 299.

6 Lihat, Ibn al-Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh, Juz I/h. 487.

7 Lihat, At-Thabari, Tafsir al-Qur’an, Juz XXIII/h. 79; al-‘Allamah Yusuf al-Kandahlawi, al-Muntakhab min Hayat as-Shahabat, h. 31-32.

Sumber artikel by Mabdahouse1924

0/Post a Comment/Comments