Pentingnya Peran Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa di Masyarakat.

KABEREH NEWS | Lhokseumawe -- Profesi sebagai mediator penyelesaian berbagai sengketa di tengah masyarakat masih belum dikenal secara luas karena kurangnya informasi kendati perannya sangat dibutuhkan di berbagai aspek kehidupan. Padahal, metode penyelesaian sengketa melalui mediasi mampu menghemat anggaran negara serta mengurangi gesekan serta konflik di tengah masyarakat.

Mediator yang sudah mendapatkan sertifikat dari Mahkamah Agung Republik Indonesia bisa mengajukan diri sebagai penengah ke Pengadilan dan Mahkamah Syariah di seluruh Indonesia dan mendapatkan honor atas jasanya. Beban para hakim bisa berkurang dengan adanya para mediator.

“Bukan berarti peran pengadilan berkurang, sebab putusan hasil mediasi dikuatkan dengan putusan pengadilan,” papar Presiden Dewan Sengketa Indonesia, Sabela Gayo Ph.D ketika mengambil sumpah 49 mediator dan satu likuidator di Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Kampus Bukit Indah, Lhokseumawe, Aceh, Senin (19/9/2023).

Hasil kajian Dewan Sengketa Indonesia (DSI) di berbagai daerah, masyarakat lebih lebih memilih langkah mediasi terlebih dahulu jika ada sengketa, dibandingkan dengan penyelesaian langsung secara hukum. Namun masyarakat tidak tahu proses tersebut karena tidak tersedianya informasi yang memadai tentang kantor mediator, ruang mediasi, serta proses menggunakan jasa mediator untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Untuk itulah, Sabela Gayo berharap para mediator yang baru diambil sumpah bisa memainkan peran untuk mensosialisasikan profesi tersebut di tengah masyarakat. “Mediator dapat membuka kantor mediator layaknya penasihat hukum,” ujar Sabela di hadapan hadirin, termasuk Rektor Universitas Malikussaleh, Prof Dr Herman Fithra Asean Eng.

Ditambakah Sabela, mediator juga bisa mendapatkan penugasan dari Dewan Mediator Indonesia yang memposisikan diri sebagai lembaga independen. Pihaknya menyelesaikan berbagai sengketa melalui prosedur mediasi, adjudikasi, konsiliasi, arbitrase, dan layanan sengketa dalam 47 bidang mulai dari pengadaan barang dan jasa, konstruksi, adat, pekerja migran, dan sebagainya.

Sejak berdirinya, kini sudah ada sekitar 2.800 mediator di seluruh Indonesia. Pihak DSI juga sudah menandantangani perjanjian kerja sama dengan 70-an perguruan tinggi di Indonesia, termasuk Aceh. Di Aceh sudah lima kali dilakukan pengambilan sumpah, dua di Banda Aceh dan Langsa, serta satu di Lhokseumawe. Sabela berharap dalam waktu dekat akan dilakukan pengambilan sumpah di Bireuen.

Kalangan perguruan tinggi menjadi fokus rekruitmen karena DSI ingin melahirkan kader mediator dari kalangan muda, selain karena adanya agenda riset jangka panjang dengan pihak kampus untuk penguatan riset. Kerja sama dengan kampus diharapkan bisa menghasilkan publikasi dalam bentuk artikel maupun referensi tentang teori dan praktek mediasi hukum adat berbagai daerah di Nusantara.

Menurut sabela, referensi ini bisa menjadi buku saku bagi mediator, baik di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Syariah dengan mengedepankan kearifan lokal. Sejak zaman penjajahan sudah banyak kasus yang diselesaikan dengan cara mediasi hukum adat. Riset ini akan menjadi kekayaan metodologi penyelesaian masalah yang bisa menjadi referensi dunia.

Untuk menjadi mediator, tidak hanya berlatar pendidikan hukum, sebab dibutuhkan juga mediator dengan latar pendidikan komunikasi, psikologi, ekonomi, dan sebagainya. Beragamnya ruang sengketa yang harus ditangani membutuhkan mediator dengan berbagai latar pendidikan.

Direktur Dewan Sengketa Indonesia (DSI) Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara Periode 2023-2026, Dr Yusrizal, mengungkapkan hasil penelitiannya bersama sejumlah dosen mengungkapkan fakta bahwa penyelesaian sengketa melalui proses mediasi mampu menghemat anggaran negara sampai puluhan juta untuk satu kasus. “Selain itu, proses mediasi mengurangi potensi gesekan dan konflik baru di tengah masyarakat,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh tersebut.

Sementara Rektor Universitas Malikussaleh, Herman Fithra, mengatakan menjadi mediator bagi dosen merupakan bagian dari pengabdian kepada masyarakat. Namun ia mengingatkan, dosen yang ditugaskan sebagai mediator harus ada izin dari dekan, tidak boleh liar. Hal ini untuk mendukung akreditasi unggul dan menjadi indikator kinerja utama perguruan tinggi.

“Mas Menteri juga mendorong dosen tidak hanya mengajar di kampus, tapi berbuat di luar kampus sehingga ilmunya up date, sehingga yang terjadi di dalam kampus dan di luar kampus bisa selaras,” ujar Herman yang mengapresiasi banyaknya alumni Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh yang menjadi hakim atau jaksa serta berkarier di lembaga pengadilan.

Selain pengambilan sumpah, DSI juga melantik kepengurusan di daerah yang meliputi Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, Bireuen, Pidie Jaya, dan Pidie. Para pengurus dan mediator sebagian besar berlatar hukum seperti Dr Elidar Sari, Dr Budi Bahreysi, Yusrizal Hasbi MH, Hadi Iskandar MH, dan sejumlah dosen lainnya.

Kegiatan itu dihadiri para pejabat pengadilan di Aceh serta anggota Panwaslih dari berbagai kabupaten dan kota di Provinsi Aceh yang juga berstatus mediator untuk penyelesaian sengketa pemilu. ***

0/Post a Comment/Comments