PERS

ilustrasi

Oleh Muhammad Subhan

KABEREH NEWS | PERS adalah suara. Pers adalah cahaya. Pers adalah peringatan. Pers adalah pengingat. Pers adalah penjaga.

Menurut KBBI, pers punya banyak makna. Usaha penerbitan. Penyiaran berita. Surat kabar, majalah, radio, televisi. Medium penyampai informasi. Dan juga orang-orang yang mengabdi di sana—mereka disebut wartawan.

Wartawan adalah juru warta. Pencari berita. Penulis kenyataan. Perajut narasi dari realitas.

Saya memulai perjalanan sebagai wartawan setelah lulus SMA dari Aceh. Merantau ke Padang. Tahun 2000 hingga 2010, saya total hidup dari media. Menjadi kuli tinta.

Media tempat saya bekerja bermacam-macam. Ada mingguan. Ada harian. Ada pula radio. Media daring belum begitu ramai waktu itu.

Saya belajar mengenal denyut kota. Meliput banyak peristiwa. Menemui banyak tokoh. Merekam banyak suara.

Namun, dunia pers tidak selalu gemerlap. Gaji kecil. Beban kerja besar. Kadang mencari berita, juga mencari iklan. Bahkan ikut jualan koran.

Dulu, iklan adalah napas utama media cetak. Belum ada Facebook Ads. Belum ada algoritma Google. Belum marak Youtube. Kami—wartawan—adalah buruh. Buruh informasi.

Sering idealisme diuji oleh kebutuhan. Dibenturkan oleh kenyataan. Tapi wartawan terus menulis. Terus melaporkan.

Hari ini, pers tetap penting. Pers menjaga akurasi. Pers menjaga keberimbangan. Pers menghadirkan kebenaran di tengah kabar bohong.

Media sosial bukan pers. Ia bebas, tapi tak terverifikasi. Siapa pun bisa menulis di media sosial. Dari profesor hingga anak SD. Ia cepat, tapi belum tentu benar. Ia bising, tapi tak selalu bermakna.

Hoaks di media sosial berseliweran. Fitnah bertebaran. Adu domba merajalela. Di sinilah peran pers menjadi lebih relevan.

Namun, tidak semua wartawan bersih. Ada oknum. Ada wartawan amplop. Ada yang menjual berita. Ada yang mengancam demi uang dan fasilitas lainnya.

Oknum-oknum itu merusak wajah pers. Mereka mencoreng profesi mulia ini. Mereka mengikis kepercayaan publik.

Padahal, pers adalah pilar keempat demokrasi. Setara pentingnya dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Keberadaannya diakui dalam konstitusi. Dilindungi Undang-Undang.

Tapi perlindungan hukum sering tidak cukup. Wartawan masih menjadi korban. Diancam. Diintimidasi. Diteror. Dipukul. Dikriminalisasi. Bahkan dihilangkan nyawanya.

Tak heran ada yang berkata, kaki wartawan satu berada di rumah sakit, satu lagi berada di kuburan. Maknanya sudah cukup jelas.

Sebagai pekerja media, pers hanya ingin menyampaikan fakta. Mereka hanya ingin publik tahu. Tapi nyawa mereka pun kadang tak dianggap berharga.

Di belahan dunia lain, jurnalis dipenjara. Di tempat lain, mereka menghilang. Di banyak tempat, mereka dibungkam. Di medan perang, mereka dibidik moncong senjata.

Kebebasan pers tidak gratis. Ia dibayar dengan risiko. Ia ditebus dengan luka. Ia diperjuangkan dengan darah.

Era digital membawa tantangan baru. Banjir informasi. Disinformasi. Tekanan ekonomi bagi media independen. Sementara algoritma media sosial lebih mementingkan klik daripada kebenaran.

Tantangan pers di era digital sangat kompleks dan berlapis.

Media sosial menggeser posisi media konvensional. Membuat media arus utama kehilangan pembaca dan pendapatan iklan.

Persaingan mendapatkan klik melahirkan judul-judul sensasional. Clickbait merajalela. Kualitas jurnalistik dikorbankan demi trafik.

Hoaks menyebar lebih cepat dari berita yang sudah diverifikasi. Disinformasi menjadi musuh harian para jurnalis.

Sebagian besar pendapatan iklan kini tersedot ke Google dan Meta. Media lokal megap-megap. Banyak wartawan dirumahkan. Banyak liputan dipangkas.

Etika dan independensi diuji. Ada tekanan pemilik modal. Ada godaan politik. Ada tuntutan komersial.

Kepercayaan publik pada media juga menurun. Banyak yang menganggap media berpihak. Tidak objektif. Tidak netral.

Wartawan juga dituntut menguasai teknologi baru. AI. Data journalism. Multimedia storytelling. Banyak yang belum siap. Banyak yang tertinggal.

Masyarakat juga dibanjiri informasi. Overload. Pers harus tampil beda. Harus menyaring. Harus menyuguhkan makna.

Literasi media masyarakat masih rendah. Banyak yang tidak tahu cara membedakan hoaks dan fakta. Beban edukasi bertambah di pundak media.

Algoritma media sosial menciptakan polarisasi. Orang hanya membaca yang sesuai keyakinannya. Kebenaran jadi relatif.

Kebebasan pers juga terancam. Wartawan dilaporkan. Diintimidasi. Di-bully. Dipolisikan. Karena memberitakan fakta-fakta pahit.

Media juga sulit menjangkau daerah 3T. Akses internet belum merata. Informasi masih tersendat.

Isu pendidikan dan literasi kerap diabaikan. Dianggap tidak menjual. Padahal itu akar dari kemajuan bangsa.

Pers pelajar dan kampus masih tertatih. Minim pelatihan. Minim dukungan. Padahal mereka calon jurnalis masa depan.

AI juga memberi tantangan. Deepfake. Fake news. Sulit dibedakan. Jurnalis harus makin teliti. Makin hati-hati.

Di tengah semua tantangan itu, pers tak boleh mati. Ia harus tetap hidup. Harus tetap tumbuh. Harus tetap jujur.

Masyarakat harus melek literasi. Harus kritis. Harus bijak memilih sumber informasi.

Kebebasan pers adalah tanggung jawab bersama. Bukan hanya urusan wartawan. Bukan hanya urusan redaksi. Tapi juga kita—publik yang menikmati berita setiap hari.

Jika pers kita lemah, demokrasi akan rapuh. Jika jurnalis kita takut, kebenaran akan terkubur.

Jadi, mari menjaga pers. Lindungi para wartawan. Perjuangkan kesejahteraan mereka. Bukan hanya hari ini, tapi setiap hari.

Karena tanpa pers yang bebas, kita hanya akan tahu apa yang ingin kita dengar—bukan apa yang sebenarnya terjadi.

Selamat Hari Kebebasan Pers Sedunia, 3 Mei 2025. Hidup dan jayalah Pers Indonesia. []

Baca juga di https://majalahelipsis.id/pers/#google_vignette

0/Post a Comment/Comments